Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah Tepatkah Pilihan Sekolah untuk Si Kecil? (Catatan Menyongsong Tahun Ajaran Baru)

8 Februari 2017   15:00 Diperbarui: 8 Februari 2017   15:26 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melihat tak pernah sama dengan mencermati. Menganalisis tak akan sama dengan mengalami langsung. Indeed, experience is (still) the best teacher afterall.

Wah, sebenarnya kita mau ngebahas apaan sih?

Oke. Tepat tahun ajaran depan, putri kecil saya mulai melangkahkan kakinya di jenjang pendidikan dasar. Sooo…? Hemm, tadinya saya juga berasumsi ini bakalan semudah menjentikkan jari saja. Namuuun… that’s not how the story goes

Selalu Ada Saat Pertama (Untuk Semua Hal)

Apakah masuk Sekolah Dasar (SD) di saat ini memang masih sesederhana itu? Bahwa si kecil kesayangan hendak memulai suatu hal baru, di tempat yang baru? Dan oleh karenanya kita perlu mensupport dia, mengokohkan pijakan kaki mungilnya?

Hmm, saya termasuk yang masih berharap demikian. Karena Kelas 1 SD lah pengalaman pertama si kecil bersekolah formal. Kita semua menginginkan pengalaman pertama yang positif, bukan?

Namun, coba kita lihat realitanya? Tas kecil buah hati kita mendadak menjelma trolly besaaar… Pe-er mendadak bejibuun… Laluu, ke mana perginya ruang kelas berwarna-warni dengan meja kursi nyaman yang cukup sering ditinggalkan penghuninya untuk beraktivitas outdoor itu? Ke mana perginya wajah-wajah ceria anak-anak kita di taman kanak-kanak? Mengapa kini mereka sering berkeluh pegal, capek? Bahkan di usia yang ke-tujuh mereka telah fasih mengatakan “aku sedang stress!”….

Ingatan saya mengembara pada masa kecil saya… Saat itu tiap hari saya bersekolah di SD dekat rumah. Berlari-lari dengan gembira. Tas selempang berisi 2 atau 3 buah buku di dalamnya. Saya berjalan cepat-cepat, bahkan seringkali berlari. Bagi saya, sekolah adalah tempat yang menyenangkan! Tak ada PR? Tentu ada, tapi tidak terlampau memberatkan. Bel berbunyi pukul 9.30, namun saya berangkat lebih pagi. Karena tahu teman-teman sudah menanti untuk bermain bersama. Lompat tali, bekel, benteng-bentengan, gobak sodor! Oh, tidak ada masa seindah itu!

Belajar, Belajar, dan Belajar: Apa Salah?

Oh… don’t get me wrong! Kalau belajar itu diartikan dengan belajar pengetahuan baru, belajar skill baru, belajar bermacam-macam hal, saya 120 % setuju! Kita memang seharusnya demikian. Saya sendiri mewajibkan diri ini menjadi a long life learner!

Namun, coba kita tengok sebentar. Apa yang sedang dilakukan adik-adik berusia belia itu di sekolah? Di beberapa SD (dan saya yakin, jumlah kasusnya jauh lebih banyak dari yang muncul ke permukaan) pada waktu masuk, para buah hati kita sudah menjalani tes / ujian masuk. Bahkan ada yang eksplisit mengistilahkan aktivitas penyaringan ini dengan Tes Potensi Akademik (TPA). Para calon siswa SD itu menjalani screening mengenai kemampuan mereka. Mereka diminta menulis nama lengkap mereka. Dites membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan yang baru wajib mereka pelajari di jenjang Sekolah Dasar, sudah diteskan pada mereka ketika mereka masih berdiri di gerbang. Untuk memulai langkah kaki kecilnya yang pertama di jenjang pendidikan formal.

Dalam sebuah buku karya Thomas Armstrong yang pernah saya baca, dikemukakan bahwa semua jenis ujian yang diberikan pada anak-anak sebelum usia 8 tahun tidak akan memberikan manfaat bagi siswa. Dan tentang PR, dikemukakan juga bahwa siswa baru akan memperoleh manfaat mengerjakan Pekerjaan Rumah pada usia SMP, dan manfaat itu meningkat ketika mereka SMA.

Kemudian saya teringat sebuah pengalaman berbincang dengan seorang siswa dari Jerman, yang mengikuti pertukaran pelajar di SMA saya dulu. “Sekolah di Indonesia sangat berat!” begitu keluhnya. “Pelajaran-pelajaran di Jerman tidak sesulit pelajaran di sini!”

Namun, coba kita jawab dengan sejujurnya. Apakah dengan kurikulum yang sedemikian “advance” tersebut, Indonesia telah lebih maju dari Jerman dalam realitanya?

“Apa yang salah dengan belajar? Kan bagus, anak-anak kita jadi nggak sempat keluyuran?” begitu tanya beberapa orang tua. Nah, itulah. Anak kita jadi nggak pernah “keluyuran” dan nggak pernah belajar selain di sekolah. Anak-anak kita sangat fasih berbicara tentang materi pelajaran, namun mereka tak tahu siapa pak RT mereka dan di mana gerangan rumahnya. Anak-anak kita berani mempresentasikan karya ilmiah sains mereka, namun tak mampu mendeteksi duka kerabat ataupun kesedihan tetangga.

IQ, EQ, SQ, AQ dan QQ yang Lain

Hehehe. Para orang tua mungkin sangat familier dengan QQ ini. Saya juga cukup sering diminta para orang tua untuk membantu mereka mengetahui potensi anak-anak mereka. Jujur, Tes IQ sampai detik ini merupakan salah satu kegiatan terpopuler para psikolog, termasuk saya.

Ada yang salah dengan tes IQ? Tentu tidak. Namun, tentu kita tahu kalau IQ bukanlah segala-galanya. EQ misalnya. Tidak semua angka-angka cantik itu kita bisa tingkatkan dengan belajar mata pelajaran. AQ misalnya. Bagaimana kita berharap para anak-anak memiliki tingkat resiliensi dan ketangguhan yang tinggi apabila kita tidak pernah mengizinkan mereka belajar di luar? Kita ingin memiliki anak-anak yang tahan banting, namun kita tak sedikitpun memberikan mereka kesempatan “terbanting”… lalu, menurut Anda?

Pesan untuk Para Orang Tua

Silahkan untuk memilih jalur pendidikan terbaik untuk anak-anak kita.The choice is yours. Saya tak merasa ada perlunya memberitahu apa list DO’s dan DON’T’s untuk Anda, para orang tua era digital. Hampir semua hal bisa kita tanyakan pada Mbah Google. Dan hampir semua hal kita bisaOutsourching-kan. Namun, coba kita renungi lagi langkah-langkah kita terkait pendidikan bagi buah hati kita. Relakah kita menjatuhkan pilihan pada tipe sekolah yang tidak ramah pada anak-anak kita? Sudah tegakah kita memasukkan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang sejak awal masuk memberlakukan screening terhadap para calon siswanya di era inklusif ini? Sudah yakinkah kita bahwa anak-anak kita akan memperoleh pengalaman positif di usia belia mereka?

Mari kita renungkan, dan jawab dengan sejujurnya. Dari kejernihan hati dan kebeningan kognisi. Selamat datang tahun ajaran baru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun