Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Ibu Mengalami Sindrom Baby Blues atau Depresi Post Partum?

7 Oktober 2016   11:59 Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:01 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang yang kehilangan orang yang dicintai misalnya, bisa saja ia mengalami depresi atau bisa juga tidak. Pengalaman kehilangan tersebut merupakan sesuatu yang berpotensi menjadi pemicu depresi. Namun, bagaimana pengalaman yang biasanya identik dengan kebahagiaan seperti memiliki bayi bisa pula memicu depresi?

Memiliki bayi (anak) merupakan suatu pengalaman positif. Hampir pasti kita semua berbahagia dengan kehadiran bayi mungil yang lucu di tengah-tengah keluarga. Apalagi bagi pasangan yang sangat mendambakan putra / putri. Betapa bahagianya!

Namun, bahagia dan kesedihan “hanyalah” ekspresi emosi. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal. Taruhlah, seseorang bahagia memperoleh uang 1 juta. Beberapa menit kemudian, kebahagiaannya berubah menjadi kesal setelah mengetahui teman kantornya menerima 2 juta. Berayunnya pendulum emosi bisa terjadi semudah kita mengayunkan tangan dan kaki kita. Sangat mudah.

Periode menimang anak untuk pertama kalinya misalkan, kalau kita kupas bisa kita lihat bahwa hal itu cukup kompleks. Pasangan suami istri yang tadinya terbiasa memiliki rutinitas berdua… zzapp.. kini hadir bayi di tengah-tengah mereka.

Malam-malam yang melelahkan secara fisik karena keharusan begadang di satu-dua bulan pertama usia bayi. Perasaan exhausted secara emosi karena tangisan bayi yang terus-menerus lapar. Ritme jam biologis tubuh yang kacau balau yang bisa mempengaruhi kondisi emosi menjadi lebih mudah marah, jengkel, sedih, kecewa, dan lain-lain. Suami yang mengendarai kendaraan ke kantor dalam keadaan mengantuk karena ikut bergadang. Tuntutan kantor yang biasa bisa dihadapi dengan tenang kini menjadi lebih membebani (persepsi subjektif). Sang istri yang kecewa karena merasa suaminya kurang memperhatikan dirinya dan juga si bayi (harapan yang tidak terpenuhi). Belum lagi komentar-komentar subjektif (ceramah, nasihat, kritikan, dan lain-lain) yang datang tanpa diminta dari kerabat / orang tua/ mertua / teman / sahabat atau masukan dari para professional yang terkadang rentan menjadikan sang ayah dan sang ibu merasa kurang kompeten menjadi orang tua atau bahkan mulai mempengaruhi konsep diri sang ayah dan sang ibu menjadi lebih negatif.

Di awal kelahiran sang bayi mungil… wow..semua perhatian tertumpah pada bayi mereka. Ucapan selamat datang bertubi-tubi tiada henti. Bantuan menggendong, menimang, mengurus bayi dan juga membantu pemulihan kesehatan ibu teradang datang secara melimpah. Namun sampai kapankah?

Mungkin hal ini berlanjut sampai seminggu, dua minggu, atau hingga satu bulan kemudian. Perlahan dan pasti semua orang akan kembali ke rutinitas masing-masing. Di sinilah periode rentan terjadi. Sang ibu yang masih belum pulih betul secara fisik, dituntut untuk mengasuh dan merawat bayinya dengan sedemikian rupa. Bahkan, untuk beberapa orang, seakan-akan ia harus menjalaninya secara sempurna! Percayalah, hal ini tak mudah dilakukan!

Apakah saya sedang mendeskripsikan hal tersebut secara berlebihan? Percayalah, saya menggambarkannya secara apa adanya. Dan beberapa ibu menceritakan pengalaman yang kurang lebih serupa. Meski tak semuanya mengalami baby blues syndrome.

Kelelahan fisik yang teramat sangat, tentu bisa berdampak pada kondisi emosi. Dan tanpa dukungan emosi dan sosial yang kuat, sangat mungkin sang ibu mengalami sindrom baby blues.

Apalagi kalau secara genetik, garis keturunan di atasnya (ayah / ibu/ kakek /nenek dan seterusnya) juga ada yang mengalami depresi. Hal ini memperkuat resiko terjadinya depresi.

Demikian pula kalau ada kejadian-kejadian (stressor) tambahan yang menambah stres pada sang ibu. Misalnya: kekerasan fisik yang diterima dari suami, celaan dan kritikan tajam tentang cara mengasuh dan merawat bayi, ada kejadian buruk lain seperti meninggalnya orang tercinta di masa-masa awal sesudah melahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun