Plagiasi: Apakah Itu?
Dalam bahasa sederhana, plagiasi artinya 'menjiplak'. Kalau kita kaitkan dengan aturan antiplagiatisme yang gencar disosialisasikan pemerintah, antara lain melalui dirjen dikti plagiasi wujudnya banyak sekali. Ketika seorang akademisi mengakui karya ilmiah hasil pemikiran bersama rekan sejawat sebagai karya pribadi, itu termasuk plagiasi. Seorang mahasiswa menyalin karya ilmiah dari hasil googling dan diakui sebagai karyanya sendiri, itu plagiasi. Seorang dosen mengakui karya ilmiah mahasiswa bimbingannya sebagai karyanya sendiri, itu plagiasi. Seorang dosen mengambil teori ataupun data tertentu dari sebuah literatur tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas sehingga sulit untuk kita verifikasi kebenaran informasinya, itu juga ternasuk plagiasi. Belum lagi yang termasuk autoplagiasi. Semisal seorang dosen memiliki sebuah karya ilmiah, lalu disalin kembali untuk diterbitkan di media yang berbeda. Para akademisi perlu sangat berhati-hati supaya tidak tersangkut kasus plagiasi.Â
Kasus Plagiasi oleh Akademisi
Banyak kasus plagiasi menerpa kalangan akademisi. Apakah benar dan mengapa demikian? Saya tidak dalam posisi memberikan penghakiman. Namun, saya coba untuk berbagi pendapat. Di negeri ini, kalau kita cermati, yang lebih dominan masih budaya bertutur. Budaya bercerita. Budaya berbicara. Bukan budaya baca dan tulis. Tak terkecuali di kalangan akademisinya. Dosen begitu gayeng berdiskusi dengan sesama dosen, juga dengan sesama mahasiswa. Apakah salah? Tidak juga. Namun, apabila hasil buah diskusi dan analisis fenomena tersebut coba dituangkan dalam tulisan ilmiah, tentu kita bisa membayangkan betapa produktifnya para akademisi kita.
Saya sharing sedikit pengalaman saya mengamati perilaku dosen di sebuah perguruan tinggi di perpustakaan. Yang menjadi rebutan justru surat kabar terbaru. Jurnal ilmiah terakreditasi dan jurnal ilmiah internasional jarang tersentuh ataupun ditanyakan. Sudah saya cross check dengan para petugas perpustakaan pada waktu itu, dan ternyata memang demikian adanya.Â
Di satu sisi, budaya baca tulis belum terbentuk. Di sisi lain, merupakan kewajiban para akademisi untuk sharing pemikiran melalui berbagai media ilmiah maupun media populer. Plagiatisme seakan menjadi "short cut" dan "solusi" untuk bisa menghasilkan karya secara instan. Andai kita menarik benang merah dalam konteks kehidupan beragama, seseorang beribadah "hanya" untuk menggugurkan kewajiban. Tanpa merenungi dampak perbuatannya dan "dosa" sosial yang ia lakukan.
Sebenarnya hukuman untuk kasus plagiasi karya ilmiah sangat berat. Seorang dosen bisa mendapat sanksi administratif, kehilangan gelar akademis, diturunkan jabatan fungsionalnya, hingga diberhentikan sehingga ia tak lagi berhak menjadi dosen. Tentu kita masih ingat kasus salah seorang akademisi bergelar doktor ekonomi lulusan sebuah perguruan tinggi ternama berinisial AA yang tersangkut kasus plagiasi beberapa tahun lalu. Beberapa guru besar juga sudah kehilangan gelar kehormatan sebagai profesor karena kasus plagiasi.
Kasus Deskripsi Diri
Mengapa dalam minggu-minggu ini kasus plagiasi dosen kembali diangkat ke permukaan? Kalau coba kita cermati konteksnya, dari tagline berita kita bisa tarik suatu simpulan bahwa ribuan dosen dianggap melakukan plagiasi saat mengisi "deskripsi diri" saat pengajuan sertifikasi dosen (serdos). Saya tidak ingin kita keliru menarik simpulan dari hal ini.Â
Bagi saya pribadi, kurang tepat mencampuradukkan antara ketidakmampuan dosen mengisi deskripsi diri yang tepat dan benar dengan dosa plagiasi ilmiah. Bagi dosen-dosen yang pernah dan telah sukses melewati tahapan tersebut pasti tahu bahwa mengisi deskripsi diri memerlukan kemampuan dan stategi tersendiri, supaya kita bisa mengisi dengan benar, tepat, dan sekaligus layak (dan tidak terkena pelanggaran plagiasi). Beberapa teman dosen pernah berbagi kesulitan mereka tentang hal ini.
Salah satu dari mereka, saya tahu betul dan akui ia memiliki integritas yang baik. Lalu mengapa ia tidak lolos untuk deskripsi diri? Setelah mencermati deskripsi diri yang ia buat, saya coba tarik simpulan bahwa deskripsi diri yang ia buat terlalu general sehingga rentan sama dengan dosen lain. Dan ia bisa kena pasal plagiasi! Maka setelah coba saya dan teman dosen lain beri saran kepadanya untuk mendetailkan kegiatan dan deskripsi dirinya hingga sedetail-detailnya, dan menggunakan istilah yang spesifik kalau menyangkut topik pembahasan tertentu, maka dalan periode sertifikasi berikutnya, alhamdulillah dia pun lulus!
Yuk, negeri kita ini sudah sangat rumit. Termasuk dalam urusan pendidikan. Maka, jangan mudah menuding atau melabel seseorang atau profesi tertentu hanya karena pemahaman yang masih belum utuh tentang fenomena tertentu. Salam hangat dari saya. Mari kita saling introspeksi dan berkarya untuk pendidikan yang lebih baik dan beretika di Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H