Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Full Day School: Siapa Takut?

10 Agustus 2016   08:59 Diperbarui: 10 Agustus 2016   09:35 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sekolah: siapa takuut... (sumber: shutterstock)

Sekolah vs Pendidikan

Pendidikan identik dengan belajar. Dan manusia adalah pembelajar sepanjang rentang usia. Pendidikan adalah proses mengubah diri seseorang (sekelompok individu) secara sadar, aktif, dan sistematis. Karena menuntut kesadaran dan proses belajar, serta harus berdampak adanya perubahan, maka tanpa ketiga unsur tersebut, seseorang tidak bisa dikatakan terdidik. Meskipun boleh jadi ia telah bersekolah berpuluh tahun lamanya.

Sejauh ingatan saya, dalam bahasa latin, pendidikan (education) berasal dari akar kata educare yang artinya mengukir. Maka pendidikan memang harus berjejak, membekas kuat. Keberhasilannya salah satunya diukur dari: Sudahkah individu yang mengenyam pendidikan itu berubah mind set-nya? (ranah kognitif) Telahkah mereka yang terdidik itu berubah menjadi lebih peka dan responsif terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan masyarakat? (ranah afektif) Apakah mereka yang telah menjalani pendidikan itu telah memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya secara nyata di tengah-tengah masyarakat sebagai wujud rasa tanggung jawabnya? (ranah psikomotorik)

Pendidikan sudah setua usia manusia itu sendiri. Dan madrasah pertama dan terutama yakni pendidikan keluarga. Biasanya kedua orang tua berperan penting dalam hal ini.

Sekolah memang lekat dengan pelaksanaan pendidikan, namun tidak selalu identik. Seperti yang saya kemukakan di awal, boleh jadi seseorang “kenyang makan bangku sekolah” tapi tidak terdidik. Salahe dhewe, lha wong bangku sekolah kok dimakan? He he he. Guyon, lho..

Schooling vs Deschooling Society

Sebenarnya kalau kita mau menarik persoalan yang lebih mendasar, dibandingkan perdebatan panjang lebar dikali tinggi (sama dengan volume, hehe) mengenai Sekolah Sehari Penuh (Full Day School) atau Sekolah Setengah Hari….ya saya berpendapat, kita kembali saja pada esensi pendidikan itu.

Di Era Internet ini, di era multimedia dan dengan generasi digital yang sangat haus informasi dan memiliki hampir semua akses terhadap pengetahuan, No Excuse untuk individu yang memilih untuk tidak terdidik.

Sudah jauh-jauh hari Mas Ivan Illich ngobrolin deschooling society, lha masa kita sekarang ribut-ribut lagi perlunya sekolah full day atau half day atau day care atau “day-day” yang lain. Kesian lho, nanti beliau-nya ngambek… merasa nggak didengerin sama orang-orang Indonesia.

Full Day School: Siapa Takut!

Oke, saya coba bersingkat kata saja. Saya sangat setuju dengan Full Day School. Saya akan bocorin ya alasannya. Satu, saya termasuk orang tua yang bekerja. Jadi, saya sekalian nitipin anak saya.. (eh, ini rahasia (umum), lho)….di tempat yang amanah dan terpercaya tentunya. Dalam hal ini, pilihan saya tergolong rasional dan realistis. Iya apa Iyaaa? Dua, saya ngeman ibu saya di rumah. Masa, beliau sudah sepuh masih saya bebani ikut berpartisipasi aktif momong anak saya yang aktif-aktif itu. Jadi, alasan kedua adalah saya takut kualat. Tiga,saya dan suami bekerja. Maka, pembagian pembiayaan hidup kami kurang lebihnya adalah: penghasilan suami untuk A,B,C,D. Penghasilan istri untuk E, F, G, H, I. Lho, kok banyakan alokasipengeluaran dari penghasilan istri. Iya, yang I itu untuk jalan-jalan, kok…

Jujur, Full Day School sejauh yang saya tahu (berdasarkan hasil survey di hampir semua sekolah full day di kota kami) biayanya lumayan. Membuat kita mengelus dada, mengelus dompet, lalu banyak beristighfar… kami pasrah saja, daripada diminta bikin sekolahan sendiri atau merancang dan menjalankan homeschool.. terus terang kami belum sanggup. Empat, kami tinggal di kota besar. Banyak pilihan. Walaupun untuk memasukkan putra-putri kami ke sekolah yang tepat (sesuai dengan visi, misi, idealism, dan juga kemampuan finansial kami), ternyata kami sudah perlu inden minimal satu tahun sebelum tahun putra-putri kami bersekolah. Lima,kami masih optimis dan menaruh kepercayaan tinggi pada sekolah formal sebagai tempat putra-putri kami menjalani pendidikan. Semoga tetap demikian, ya..aamiin.

Namun, saya sendiri… waktu kecil, alumni sekolah dasar di kampung saya, lanjut di sekolah menengah negeri, kuliah di Perguruan Tinggi Negeri… Pilihan rasional dan realistis juga… Orang tua saya guru dan penyuluh pertanian, anak-anaknya empat, dan belum banyak alternatif pilihan pendidikan seperti saat ini. Akses terhadap ilmu pengetahuan dan ketrampilan, juga masih terbatas, pada masa itu… Alhamdulillah, pilihan tersebut pun Tepat! Bekal pendidikan yang kami jalani dari orang tua (keluarga) dan juga sekolah mampu mengantarkan kami menjadi seperti saat ini… Mudah-mudahan kami masuk kategori terdidik dan sukses dunia akhirat dan menjadi tabungan kebaikan bagi orang tua kami. Aamiin.

Nah, jadi, kalau Anda kebetulan orang tua dari putra-putri yang akan masuk sekolah dan sedang puyeng dengan polemik yang tengah ramai diperbincangkan…saya kasih saran sederhana saja: Tolong abaikan polemik itu dan Pilih Institusi Pendidikan (atau Pendidikan Alternatif) yang tepat bagi putra-putri Anda, sesuai dengan kondisi finansial Anda, dan sejalan dengan hati kecil Anda. Baru kita bisa teriak bersama-sama, Full Day School…Siapa Takut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun