"Jika engkau ingin kekal, maka menulislah," kata sebuah pepatah.
Terkait itu, sangat mudah kita mendapatkan contohnya. Lihatlah Imam Al-Ghazali yang punya banyak karya buku. Meski telah lebih dari seribu tahun wafat, nama dan  pemikirannya terutama di buku "Ihya Ulumiddin" terus disebut dan dikutip orang di berbagai penjuru dunia.
Sementara, di negeri ini nama Hamka (Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah) akan lama diingat orang. Misal, lewat karya "Tafsir Al-Azhar" dan "Tasawuf Modern"-nya. Bahkan, nama Hamka juga bisa diingat melalui novel islami-nya seperti "Di Bawah Lindungan Ka'bah" dan "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Begitu juga ulama semisal Hasbi Ash-Shiddiegy, A. Hassan, dan Natsir. Hasbi Ash-Shiddiegy akan diingat antara lain lewat "serial" panduan ibadahnya seperti "Pedoman Haji".
A. Hassan diingat antara lain melalui "Tafsir Al-Furgan" dan "Pengajaran Shalat"-nya. Natsir akan diingat antara lain lewat "Capita Selecta" dan "Fighud Dakwah"-nya.
Buku ini "Menulislah, Engkau Akan Dikenang" ditulis oleh M. Anwar Djaelani (Pustaka Al Kautsar) merekam kisah hidup puluhan ulama-penulis di negeri ini.
Setelah membacanya, semoga timbul niat kita menulis. Niat itu bukan karena ingin nama kita menjadi kekal dalam ingatan masyarakat. Bukan, sama sekali bukan untuk itu!
Kita menulis semata-mata karena Allah dan berharap nilai dakwahnya berjangka panjang. Hal ini, karena berdakwah lewat tulisan punya sejumlah keutamaan termasuk bisa diakses dalam waktu yang lama. Bahkan, berkemungkinan "abadi"
Bismilah, menulislah. Ikuti jejak para ulama yang di samping aktif berdakwah lewat lisan juga melalui tulisan.
"Jangan mati kecuali Anda sudah menulis karya," pesan Allahuyarham Ali Mustofa Yogub berulang-ulang.