Ketika dia masih muda, Maharani membaca buku harian kakeknya dan kemudian mencoba membedakan masa lalu dari catatan kakeknya dari apa yang dia pelajari di sekolah.
"The Hakiyat Wanatentrem" merupakan karya yang dibuatnya pada masa pandemi Covid-19, ibarat sebuah harta karun yang menelusuri sejarah Indonesia akan pembantaian 1965 (G30SPKI). Yang di kemas dalam sudut pandang baru yaitu persfektif para korban.
Meita Meilita. Wanita berkelahiran Bogor pada 1992 merupakan seniman visual muda. Meskipun bersifat artistik, ia mempertanyakan perbedaan peran perempuan dalam masyarakat dan kaitannya dengan berbagai isu saat ini. Untuk mewujudkan persoalan topik tersebut, Meilita memanfaatkan seni bordir sebagai proses menjaga emosi dan memori.
"Menyulam Kenangam" Terdiri dari 16 lembar sulaman termasuk teks dan potret keluarga, mempertanyakan struktur dan peran keluarga. Seri ini sekaligus karya kenangan yang melatih ingatan dengan cara menyulam  dan menguatkan ingatan tentang keluarga pada masanya.
Rahayu Retnaningrum. Lahir di Jakarta pada 1994, merupakan alumni dari Universitas Teknologi Bandung. Praktik karya seninya terinspirasi dari farmasi, yang menurutnya menyiratkan bahwa semua objek bersifat farmakologis dan fortiori obat dan racun.
Karya-karya yang dibuatnya merupakan inspirasi perasaannya ketika ia pindah dari Jakarta ke Cilacap. Perpaduan bentuk geometris, warna berkilau, bentuk organik dan ruang yang di rancang oleh Rahayu Retnanigrum merupakan pintu masuk menuju kenangannya.
Rahayu menceritakan pengalamannya sendiri melalui simbol kucing. kemanapun dia pergi, dia selalu pulang. Lukisannya bertujuan untuk menggabungkan dan menyederhanakan  serta menghadirkan perspektif baru pada lingkungannya.
Ines Katamso. Seorang seniman wanita multidisiplin berdarah Prancis-Indonesia, Ines Katamso memulai karirnya dengan membuat mural yang kemudian beralih ke format yang lebih kecil, untuk memberikan akses agar bisa menyelami dunia batinnya secara lebih intim.