Mohon tunggu...
Nur Suci A
Nur Suci A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UPI Kampus Sumedang Program Strudi S1 Industri Pariwisata

Hobi nya nonton series

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wajib Dikunjungi, Inilah Salah Satu Wisata Sejarah dan Religi di Kota Sumedang

2 November 2022   12:56 Diperbarui: 2 November 2022   13:02 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bagi warga sumedang khususnya yang berada di Jalan Cut Nyak Dhien, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, sudah tak asing lagi mendengar kata Gunung Puyuh yang memiliki daya tarik wisata bersejarah. Komplek Pemakaman Gunung Puyuh ini berlokasi tidak jauh dari Alun-alun Sumedang, jarak yang ditempuh kurang dari 1 kilometer atau sekitar 800 meter. Selain wisata sejarahnya, Gunung Puyuh juga merupakan tempat untuk berziarah ke makam para tokoh leluhur. 

Pasti tahu dong, disana terdapat makam Cut Nyak Dhien yang merupakan tokoh pahlawan wanita nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Letak Makam tersebut berada di belakang komplek pemakaman. Meski begitu, makam ini memiliki area khusus untuk dikunjungi. Pada bagian pertama kita akan masuk kedalam gerbang Gunung Puyuh dan melewati beberapa komplek pemakaman yang merupakan makam leluhur kota Sumedang. Dari sini dapat terlihat, bagaimana Pangeran Aria Suria Atmadja sebagai Bupati Sumedang kala itu begitu menghormati sosok Cut Nyak Dhien dengan menempatkan makamnya diantara para leluhur Sumedang. Sosok Cut Nyak Dhien tak lepas dari sejarahnya yang berusaha keras melawan penjajah hingga akhir hayatnya yang tinggal di Sumedang, Jawa Barat.

Bagaimana Cut Nyak Dhien Bisa Datang ke Sumedang? 

Sewafatnya suami beliau yaitu Teuku Umar dimedan perang melawan Belanda. Cut Nyak Dhien tidak semakin terpuruk, justru semakin gencar ingin melawan Belanda dengan beberapa pasukannya dan melanjutkan perjuangan suaminya. Selain itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua. Matanya pun sudah mulai rabun dan beliau terkena penyakit encok. Pada saat itu juga, jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit untuk memperoleh makanan. Hal inilah yang membuat salah satu pasukannya yaitu Pang Laot merasa iba dan melaporkan keberadaan markas mereka. Akhirnya, Cut Nyak Dhien pun dibawa oleh tentara Belanda dan dirawat.

Karena Cut Nyak Dhien masih berhubungan dengan pahlawan yang belum tunduk, Belanda mengkhawatirkan masih adanya semangat perlawanan dari Cut Nyak Dhien. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dhien diasingkan ke Jakarta. Menurut Bapak Asep, keturunan ke-4 dari Ibu Siti Khodijah yang mendampingi Cut Nyak Dhien selama di Sumedang, berkata "Jadi Ibu Cut Nyak Dhien datang ke Sumedang ini dibawa oleh Belanda dengan satu juru bicara dan satu pengawal. Juru bicara tidak diketahui namanya dan pengawalnya diketahui yaitu Teuku Nana." Setelah menyerahkan beliau, juru bicaranya pun pulang ke Aceh dan Ibu Cut Nyak Dhien bersama Teuku Nana. Namun, sesampainya di Jakarta Cut Nyak Dhien diasingkan lagi dan beliau berkata "Boleh diasingkan tetapi ingin ke Sumedang." Meskipun asal sebut saja tetapi beliau ingin diasingkan di Sumedang.

Sesampainya di Sumedang, Cut Nyak Dhien diserahkan kepada Bapak Bupati Sumedang yaitu Eyang Mekah. Karena keterbatasan kemampuan berbahasa dari Cut Nyak Dhien yang biasanya beliau berbahasa Aceh dan Arab, akhirnya dipanggilah salah satu tokoh ulama yaitu Kiai Haji Sanusi yang fasih berbahasa Arab dan mengajak beliau untuk tinggal di rumahnya dan dirawat oleh cucu pertamanya yaitu Ibu siti Khodijah. Cut Nyak Dhien bercerita bahwa keberadaannya masih dicari oleh tentara Belanda, maka beliau diberi nama yaitu Ibu Ratu atau Ibu Prabu. Kegiatan beliau selama di Sumedang  adalah mengajar anak-anak dan Ibu-ibu di daerah Kaum, Cipada, Sumedang Selatan untuk mengaji.

Tahun 1907 Kiai Haji Sanusi Wafat. Tak lama setelah satu tahun tepatnya pada tanggal 6 November 1908, Ibu Cut Nyak Dhien wafat. Keluarga Kiai Haji Sanusi pun  berunding "Mau dimakamkan dimana Ibu Cut Nyak Dien? Karena jika ke Aceh, jelas tidak mungkin. Sebab beliau dalam pengasingan dan jaraknya pun terlalu jauh." Sambung Bapak Asep."Karena Ibu Cut Nyak Dhien sudah dianggap sebagai keluarga Kiai Haji Sanusi, maka dimakamkan dekat makamnya Kiai Haji Sanusi." Lanjutnya

dokpri
dokpri
Makamnya diketahui setelah 50 tahun?

Bagaimana bisa diketahui makam Cut Nyak Dhien setelah sekian lama? Karena perintah Presiden Soekarno untuk menelusuri, kemudian ibu Siti Khadijah yang merawat Cut Nyak Dhien masih ada, jadi tidak sulit untuk menemukan makam dan informasi tentang beliau. Pada tahun 1972, awalnya makan Cut Nyak Dhien dibangun oleh Pemerintah Daerah Sumedang. Kemudian orang Aceh berempati untuk ikut merenovasi. Maka di renovasi oleh pemerintah Aceh dan langsung mendatangkan keperluan pembangunan yang didatangkan langsung dari Aceh.

Filosofi yang Terdapat di Makam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun