Mohon tunggu...
Nursita Juliana
Nursita Juliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka olahraga,cita" saya menjadi Dosen,dan penerjemah,dan kemungkinan besar lainnya saya ingin membangun sekolah dinegri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Buku Bajakan Menjadi Ancaman Bagi Penulis dan Industri Penerbitan

4 Januari 2024   20:30 Diperbarui: 4 Januari 2024   20:49 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Buku Bajakan Menjadi Ancaman Bagi Penulis dan Industri Penerbitan

Nursita Juliana 12310422369 

Abstaract

 Book piracy is an illegal act aimed at gaining personal profit without providing compensation to the author or copyright holder. This practice can stifle creativity and harm various parties, including writers, editors, designers, illustrators, translators, adapters, printers, publishers and bookstores. The high number of book piracy cases in Indonesia involves not only individuals but also individuals on a large scale. Bookmakers, especially writers, are the parties most affected because they lose the royalty rights they should receive. All forms of book piracy, including copyright violations as regulated in Law Number 19 of 2002, especially in Article 2 Paragraph 1. One solution to overcome book piracy is through educating the public about the importance of respecting intellectual work and giving higher appreciation to the work. the. 

Pendahuluan

 Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya menghargai hak cipta masih rendah, tercermin dari meluasnya praktik pembajakan barang, termasuk buku. Orang-orang, baik dengan kesadaran sadar maupun tidak, cenderung ingin meraih keuntungan secara instan untuk diri sendiri tanpa mempertimbangkan hak dan kepentingan orang lain, dengan mengabaikan hak cipta.

 Pemerintah memiliki peran penting dalam menekan angka pembajakan melalui penerapan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku pada 29 Juli 2003. Undang-undang ini menjamin perlindungan penuh terhadap segala jenis ciptaan sebagai hasil dari pemikiran manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun seni dan sastra. Dalam pasal 2 ayat 1 dijelaskan mengenai hak cipta sebagai hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak karyanya, yang muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan, tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pertumbuhan industri penerbitan buku di Indonesia melambat, sebagian disebabkan oleh jumlah pengarang yang masih terbatas dan kekhawatiran para pengarang dan cendekiawan terkait potensi pembajakan kreativitas mereka setelah buku berwujud. Jenis buku yang sering menjadi korban pembajakan meliputi kamus, buku pelajaran dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, novel, dan komik.

 Meningkatnya kasus pembajakan seolah-olah dianggap sebagai hal yang biasa, dan hak cipta, tampaknya, kehilangan urgensinya. Masyarakat cenderung lebih memprioritaskan nilai ekonomis suatu barang untuk kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya yang merugikan orang lain (Christiano, 2021). 

Kasus pembajakan buku terus meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, khususnya dalam bidang percetakan massal (Njatrijani, 2020). Kemajuan teknologi, terutama di bidang percetakan, memungkinkan siapa saja untuk melanggar hak cipta dengan memperbanyak atau menggandakan karya, seperti fotokopi buku, tanpa izin. Kesadaran masyarakat dan tingkat ekonomi yang rendah menjadi faktor yang mendorong kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi barang bajakan. 

Penanganan kasus pembajakan cenderung lebih banyak difokuskan pada barangbarang elektronik, sedangkan kasus pembajakan buku masih belum mendapatkan penanganan yang tegas. Pembajakan buku, seperti pembajakan barang lainnya, sangat rentan terhadap aksi pelaku pembajakan, terutama melalui fotokopi. Sistem perlindungan hak cipta di Indonesia masih mengadopsi asas negatif deklaratif, di mana tidak ada kewajiban bagi pencipta untuk mendaftarkan hasil karyanya (Siburian, 2022). Akibatnya, penyidik dari kepolisian dan kejaksaan mengalami kesulitan dalam menentukan pihak yang membajak dan yang dibajak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun