Hari ini, Selasa 09 Juli 2024 pukul 08.00 usia pernikahan kami genap setengah abad.
Setengah abad bukan sebentar, ya. Namun, setelah dijalani waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin jadi pengantin pakai sunting adat Minang plus kaca mata hitam. Disuruh juru rias makan sirih yang telah dibacakan mantra. Selain untuk pemerah bibir, katanya biar anak daro (mempelai wanita) kelihatan manis. Ha ha ....
Sayangnya tiada dokumen yang diabadikan selain Surat Nikah. Maklum zaman itu, dalam satu kecamatan belum tentu ada satu orang yang punya tustel pribadi.
Perjuangan Bertahan ke Titik 50
Saya menikah saat umur 21 tahun. Tergolong gadis tua menurut orang kampungku pada zamannya. Sementara suami 23 tahun.
Kami sama-sama lulus SLTA, belum punya pekerjaan, masih numpang makan sama orang tua.
Untuk bertahan sampai ke titik 50 ini bukan perkara mudah. Rumah tangga kami diawali dengan bejibun guncangan. Mulai kesulitan ekonomi, sampai ke kesulitan beradaptasi, dan lain sebagainya.
Memilih Hidup Mandiri
Seminggu pasca menikah kami keluar dari rumah orangtua. Numpang di rumah usang milik almarhum ayahanda suami, yang belasan tahun tidak dihuni. Tetapi masih layak untuk ditempati versi kami. Hal ini sesuai kesepakatan awal ingin hidup mandiri.
Di sana kami buka warung kopi dan barang harian kecil-kecilan. Setiap pagi saya bangun pukul empat menyiapkan gorengan dan jajanan lain untuk dijual.
Dagangan kami laris manis. Hal ini didukung posisi warung di sebelah SD. Pagi-pagi, kami melayani bapak-bapak ngopi sekalian menyantap kue basah atau roti. Setelah mereka bubar, rombongan anak SD sarapan lontong, menjelang bel masuk berbunyi.
Bangkrut karena Diutangi
Masa jaya kami berlangsung kurang dari satu tahun. Setelah itu, usaha kami berangsur bangkrut karena diutangi. Setelah minum atau minta diambilin barang, oknum pengutangnya bilang begini, "Dicatat dulu ya. Besok bayar."