Harga beras mahal  masih terjadi dari desa sampai ke kota. Termasuk di tempat saya Kabupaten Kerinci. Padahal, daerah ini merupakan salah satu penghasil beras di Provinsi Jambi.
November 2023 saya beli  Rp 125 ribu per delapan kg kualitas premium.  Kemudian terus merangkak naik.  Mulai Januari 2024 sampai hari ini  berada pada angka Rp 150 ribu dalam jumlah yang sama. (Tarif ini berlaku di toko beras tradisional, belum tentu sama dengan HET).
Kabar baiknya, meskipun harganya mahal,  ketersediaannya melimpah.  Sebab, saat ini  di sejumah daerah dalam Kabupaten Kerinci sedang musim panen.  Silakan datang ke sana, anda akan dihadapkan dengan hamparan gabah di penjemuran. Khususnya di pinggir-pinggir  jalan jalur Kota Sungai Penuh-Danau Kerinci.
Petani bisa terseyum
Harga beras  mahal  membuat petani sedikit tersenyum. Namun, jika hitung-hitungannya dengan pembelian pupuk dan biaya operasionalnya, belum memuaskan semua pihak. Â
Seorang petani padi yang tak mau menyebutkan  namanya mengatakan, "Saat ini, penghasilan  sawah sangat tidak seimbang dengan modalnya, Bu. Walaupun harga gabah sedikit naik. Pupuk dan upah pekerja mahal. Untuk menghibur diri, menggarap sawah itu saya anggap buka tabungan  berjangka. Itupun jika  tak ada aral melintang.  Andaikan terjadi gagal panen certanya akan lain."
Bernostalgia dengan kelangkaan berasÂ
Harga beras  mahal  dan langka bukanlah  sejarah baru dalam hidup saya. Era enam puluhan kami pernah mengalaminya.  Klimaksnya, sebelum  dan setelah  G  30 S PKI.  Peristiwa tersebut  terjadi di tanah kelahiran saya.
Masalah tersebut disebabkan kondisi  negara yang sedang sakit dan diperparah oleh kemarau panjang yang berbulan-bulan. Sayangnya saya lupa durasinya. Maklum waktu itu saya masih bersekolah di Sekolah Rakyat.
Zaman itu, uang susah dicari. Sudah tidak punya duit, beras tidak ada di pasaran. Untuk bertahan hidup kami terpaksa  menyantap apa yang ada sebagai Pengganti Beras alakadarnya.  Makan ongol-ongol  sagu tanpa gula, terong rebus, buah enau (kolang kaling,  pepaya muda  rebus pun jadi.  Hal ini dialami oleh rata-rata warga satu kampung.
Jika kebetulan  kami  punya sedikit beras, supaya tidak cepat habis, waktu memasak nasi Emak menambahkan  bahan-bahan  lain. Seperti,  pisang mentah, sorgum, jagung (kalau ada). Jangan ngomong tentang lauk pauk. Ada garam saja sudah bersyukur.Â
Kalau tak ada campurannya,  Emak menyiasati  dengan membuat bubur tanpa gula. Segelas beras,  direbus dengan air yang banyak. Setelah jadi  dapat tiga perempat periuk. Cukup  untuk pengganjal perut kami sekeluarga (7 jiwa). Setelah dikonsumsi, kenyang sebentar kemudian lapar lagi.  Kondisi ini dihadapi sendiri oleh masyarakat tanpa bantuan dari pihak manapun.
KeberuntunganÂ
Sungguh beruntung kita-kita yang  hidup zaman sekarang.  Begitu harga beras naik, sigap  pemerintah menggelar pasar murah,  supaya masyarakat dapat membeli bahan pokok dan non pokok  dengan harga murah. Terutama masyarakat golongan bawah.
Belum lagi bantuan pemerintah yang digelontorkan buat kelompok masyarakat tertentu.  Ada uang  PKH, uang  sembako, dan entah uang apalagi saya tidak mengerti karena tidak mengikuti informasi tentang program ini.
Penutup
Satu hal  yang membuat saya sedih  bercampur cemburu. Saat pemeritah menyarankan supaya masyarakat mencari pangan alternatif sebagai Pengganti Beras. Tujuannya untuk  membangun kemandirian pangan masyatakat.  Â
Tak ada yang salah dengan himbauan tersebut. Hanya saya pribadi merasa diperlakukan  tidak adil. Sebab, beliau-beliau yang di sana makan nasi dan lauk yang enak-enak. Andaikan kita  dan mereka sama-sama makan gadung atau ubi, okey.... mari kita laksanakan  rame-rame.
Intinya, bagi saya yang "nasi banget," Â cukuplah kisah sedihnya sampai di awal 70-an. Semoga tak terulang lagi sampai ke anak cucu. Apapun alasannya. Â Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H