Baru saja mataku terpejam, ada suara aneh di samping rumah. Kupasang teling amat-amat. Berharap bunyi tersebut melintas lagi. Rupanya hanya satu kali. Hati ini berbisik, “Barangkali aku bermimpi.”
Kantuk buyar. Tidurku putus tak bisa disambung lagi. Anganku melayang ke angkasa, malam terasa amat panjang. Tak biasanya aku begitu.
“Tandanya tubuhmu kelelahan. Hari ini biar saya saja yang jualan. Kamu di rumah saja, istirahat, tidur. Mengganti jam tidurmu tadi malam. Uang tak akan dibawa mati,” kata suamiku.
Bukan lelah, Uda. Ada suara “sengeak”. Mungkin ini pirasat kurang elok ,” bantahku.
“Sengeak apo lo." (Sengeak apa pula).
“Ya, Sengeak. Hantu jadi-jadian dari anak jadah itu. Persis kayak bayi nangis.”
“Ah. Itu pendapat orang kampung. Paling suara burung hantu di lubang pohon jambu. Mana ada anak orok mati jadi sangeak. Bayi itu makhluk suci. Kalau dia meninggal, jaminannya surga..”
“Mosok anak hasil hubungan gelap masuk surga. Itu kan anak haram.”
“Hubungan gelap atau terang, tak ada bayi haram. Yang haram itu perbuatan ibu bapaknya.”
Habis salat subuh, suamiku berkemas mau ke warung untuk memulai aktivitasnya berjualan kelapa. Lokasinya di tengah kota. Lima belas menit jalan kaki dari kediaman kami.
Begitu pintu dibuka, beliau kaget. Langkahnya surut ke belakang. “Ada benda hitam di depan pintu,” bisiknya antara terdengar dan tidak.