Tadinya saya mau nulis topik lain. Setelah membaca tulisan Pak Tiptadinata, “Dapat Duren Runtuh Tidak Selalu Berarti Nikmat,” saya terseret pada tema ini. Supaya agak senada dan seirama, saya kasih saja judul, "Emang Enak Jadi Bini Anak Pejabat?"
Semasa putriku belum menikah, saya sering mengingatkan beberapa kreteria calon menantu yang tidak saya sukai. Salah satunya jangan sekali-kali memilih jodoh anak pejabat. Terutama pejabat-pejabat tanggung.
Persyaratan tersebut bukan tanpa alasan, sebab, zaman itu rata-rata oknum anak pejabat yang saya kenal, sering menunjukkan sifat manja. Karena mereka terbiasa hidup dalam keluarga berpunya.
Memang tidak semua. Tergantung pendidikan dan didikan orang tuanya. Andai pendidikan dia bagus, pasangannya malah beroleh berkah. Hingga dapat mengubah keturunan.
Tetapi, di benak saya terlanjur bersarang penilaian buruk terhadap pribadi golongan ini.
Tahun 2003, saya pernah nginap di tempat kos adik bungsu saya di kota Jambi. Rumahnya berdinding papan, tetapi lumayan besar, punya 4 kamar. Satu dikontrak oleh adik saya, sisanya dihuni oleh anak menantu nyonya rumah.
Ternyata Ibu Kostnya janda mantan pejabat di propinsi Jambi. Lokasinya di perumahan orang penting pada zamannya. Status rumahnya pun masih abal-abal. Dikatakan rumah dinas, tidak. Rumah pribadi juga bukan.
Sebelum pergi jualan, rutin ibu 2 anak itu menyiapkan sarapan untuk suaminya, lengkap air putih dan kopi. Terus mengantarkannya ke kamar.
Sang suami belum bangun. Kondisi tersebut menjadi pemandangan setiap pagi selama 3 hari saya di sana.
“Ayuk (Mbak) itu rajin kerja. Lakinya di rumah saja. Duduk, tidur, merokok,” bisik si bungsu di telinga saya.
“Mosok iyo?”