Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Untukmu Sang Penyair Penyejuk Jiwa

20 Juli 2020   20:41 Diperbarui: 20 Juli 2020   20:37 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam doaku sore ini
kulabuhkan kata sejuta duka
mengakhiri perjalanan sang pujangga
menghadap Tuhannya di surga nirwana

Jasadmu boleh saja tiada
jejak penamu tak pernah sirna
memahat kata selaksa makna
tak mampu dibayar dengan harta 

Selamat berpisah  wahai mutiara sastra
selamat jalan penyair penyejuk jiwa
walaupun dirimu tak lagi di sini
karyamu  tetap abadi dan membumi

****

 Catatan Kecil:

 Prof. Dr. Sapardi Djoko Darmono adalah sastrawan legendaris Indonesia. Karena kepiawaiannya  menganggit kata menjadi bait-bait puisi, namanya dikenal di dalam dan luar negeri.

Saya beruntung dapat bertemu penyair romantis tersebut akhir 2018 lalu.  Saat itu beliau hadir sebagai tamu pada event Kompasianival di Loppo Mall Kemang Jakarta.

Selain menyaksikan dia membaca karyanya, sempat pula saya dan beliau berfoto shelfi.  Momen itu merupakan pertemuan  pertama dan terakhir saya bersama Sastrawan bersandi nama SDD tersebut.

Semasa sekolah, saya benci pelajaran puisi. Karena bahasanya rumit dan susah dimengerti. Ketika belajar  Kesusastraan, yang materi bahasannya  puisi, saya mengikutinya dengan keterpaksaan.

Sejak membaca  karya  Eyang SDD, saya mulai tertarik memahami bahasa  puisi.  Ternyata tidak sulit-sulit amat.

Sajak beliau yang pertama  saya baca adalah,  

"Aku Ingin". 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Tujuh belas bulan kemudian saya nekad  Nulis puisi ala saya sendiri. Judulnya "Aku Tak Tahu".  Tanggal 27 April saya beranikan memostingnya  di Kompasiana.

Ternyata ada juga warga net yang menyinggahinya. Kalau diingat dan dibaca ulang saya merasa malu tak karuan. 

Namun karena  belum terbiasa, sampai sekarang untuk menyelesaikan sebuah puisi bagi saya bukan perkara gampang.  Harus melalui perjuangan berdarah-darah. Hasilnya, entah memenuhi unsur  puisi entah tidak, karena miskin diksi. Modal saya hanya kepedean. He he .... 

Selamat Jalan lelaki pesona kata. Larik-larik sajakmu tetap hidup sepanjang masa.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun