Saat itulah  Erwin sadar, Rohana telah pergi meninggalkan dirinya, tanpa pesan sepatah kata pun.
Semalaman dia tak bisa tidur. Khayalannya mangawan ke mana-mana. Air mata kelelakiannya  menetes. "Apa salahku Rohana? Pulanglah! Aku menyayangimu.  Nafkah lahirmu lebih dari cukup, nafkah batin tertunai normal.
"Alasan belum punya anak? Bukankah kita telah bersumpah janji, tetap setia sampai mati. Ikhlas menerima takdir Ilahi. Karena kecewaku kecewamu juga."
Enam bulan ditinggalkan Rohana,  setiap malam Erwin bergulat  melawan insomnia. Bayangan Rohana datang dan pergi. Tak henti-hentinya dia merintih dalam doa, "Tuhan ..., kembalikan Rohana  ke pangkuanku!"      Â
Tiga tahun Rohana menghilang tak tentu rantaunya. Selama itu pula Erwin hidup sendiri. Tak pernah lagi senyum mengembang di bibirnya. Badannya kurus tinggal kulit pembalut tulang, rambutnya semakin menipis. Susah diajak berkomunikasi. Akhirnya tak mau ngomong sama sekali.
Tersiar kabar dalam kampung, Rohana  dan suami barunya, pulang ke rumah orangtuanya  menggendong bayi  9 bulan.  Wajahnya cantik Kulitnya putih kayak emaknya, hidungnya mancung seperti bapaknya. Sayang, kaki kanannya buntung sebatas lutut.
Tak tahu apakah berita kepulangan Rohana sampai di telinga Erwin apa tidak. Atau pikirannya tak konek lagi dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Â
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H