Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Aduh, Pahitnya Perjuangan demi Sedikit Sagu Rumbia

20 Juni 2020   08:51 Diperbarui: 22 Juni 2020   08:16 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumbia (Metroxylon) adalah tumbuhan penghasil tepung sagu. Makanya sebagian masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai pohon sagu.

Banyak manfaat lain yang diperoleh dari rumbia. Seperti, kulit batangnya yang kering untuk kayu bakar, getah pelepah mudanya bisa dimanfaatkan langsung sebagai lem, buahnya buat camilan anak-anak kampung, daunnya dianggit menjadi atap. 

Zaman dahulu, banyak rumah di kampung beratap daun rumbia. Termasuk kediaman orangtua saya. Seberapapun panasnya cuaca, dalam rumah tetap terasa adem. Sayangnya, ia cepat rusak dan rawan kebakaran. 

Sekarang di kampung saya, atap rumbia termasuk barang langka. Paling dapat dijumpai di gubuk-gubuk ladang.

Lazimnya, pohon jenis palma ini tumbuh di tanah basah. Seperti di rawa-rawa dan di pinggir-pinggir sungai.

Saudara-saudara kita di Indonesia timur pasti hafal persis kondisi dan manfaat tanaman ini. Sebab, konon sebagian beliau-beliau yang di sana masih mengandalkan sagu sebagai makanan pokok.

Selain itu, tepung sagu dapat pula diolah menjadi beragam kulimer. Di antaranya, ongol-ongol, lemper, kalpon, cendol dan aneka kue kering .

Almarhumah Nenek sering bercerita, karena ketiadaan beras, zaman kolonial di kampung saya banyak masyarakat makan sagu. Tepung sagu dimasak tanpa gula dikonsumsi bersama lauk dan sayur seperti makan nasi.

Era enam puluhan, keluarga kami juga sering kekurangan beras. Penyebabnya, selain beras tak ada di peredaran, kampung kami mengalami kemarau panjang setengah tahun lebih.

Foto ilustrasi diolah dari 2 sumber berbeda. Pengrajin atap daun rumbia (atas, infopublik.id/Kusnadi). Rumah beratap daun rumbia (bawah, PelitaRiau.com)
Foto ilustrasi diolah dari 2 sumber berbeda. Pengrajin atap daun rumbia (atas, infopublik.id/Kusnadi). Rumah beratap daun rumbia (bawah, PelitaRiau.com)
Waktu itu, sagu adalah salah satu makanan alternatif. Tidak disantap pakai sambal, tapi dijadikan kue atau camilan. Sagu + air + gula aren + sedikit garam, dimasak. Hasilnya seperti lem buatan. Kemudian dibubuhkan kelapa parut. Orang kampung menyebutnya “Oyak-oyak sagu” atau ongol-ongol.

Zaman itu gula pasir termasuk barang mahal. Kalau tak punya duit untuk membeli gula aren, cukup pakai garam saja. Kebayangkan? Makan ongol-ongol tanpa gula. Daripada lapar, ya laju terus pantang mundur.

Untuk memproduksi tepung sagu, prosesnya amat rumit dan panjang. 

Setelah rumbia cukup umur antara 5-7 tahun, pohonnya ditebang. Terus dipotong-potong sekira 1 m, dibelah menjadi 4 bagian atau sesuai keinginan. Kemudian digotong bawa pulang. 

Sampai di rumah, daging batangnya dicincang. Lalu ditumbuk halus dengan tangan menggunakan lesung dan alu.

Selanjutnya tuangkan air dingin ke dalam ember agak besar. Jangan terlalu penuh. Tutup permukaannya pakai kain tipis untuk saringan. Kendorkan sedikit supaya bagian tengahnya terendam. Lalu diikat pakai tali.

Ambil 1 atau 2 genggam daging batang rumbia tumbuk tadi. Taruh di atas kain saringan, terus diremas-remas.

Apabila airnya tampak bening, berarti sagunya telah mengendap pada dasar ember. Peras sampai kering. Ampasnya dibuang atau disimpan untuk makanan ternak. Ganti lagi dengan sagu tumbuk yang lain. Begitu seterusnya sampai bahan tersebut habis. 

Setelah sagunya mengendap sempurna, buang airnya sampai kering. Keluarkan sagunya, jemur pada terik mata hari beralaskan tikar.

Ongol-ongol sagu: Foto <aliskukis.wordpress.com.
Ongol-ongol sagu: Foto <aliskukis.wordpress.com.
Aduh, Emak. Tak ketulungan tersiksanya demi memperoleh sagu, yang jumlahnya tidak seberapa. Semuanya kami kerjakan manual. Saya tak ingat lagi, semeter pohon rumbia menghasilkan sagu berapa kilo.

Mirisnya, tidak semua pohon rumbia memiliki kadar sagu yang tinggi. Andai pohon A hasilnya 2 kg, mungkin pohon B cuman 1 kg. Batang sagu diperoleh dari membeli.

Bila teringat perjuangan membantu Emak meremas sagu sampai malam pakai lampu minyak, sering air mata saya menetes. Kadang-kadang ngantuknya setengah pingsan. Pernah tangan bekerja mata terpejam. Kepala tersungkur sampai ke lutut. 

“Tahan dulu, Nak. Tahan .... Tinggal dikit. Nanggung kalau diselesaikan besok,” kata Emak. Bukan sekali dua. Karena sagu adalah bagian dari hidup kami. Terutama memanfaatkan waktu senggang sebelum musim turun ke sawah,

Sekarang, tinggal cerita pelengkap sejarah. Pohon sagu sudah nyaris punah. Rawa-rawa yang dahulu tempat rumbia tumbuh subur, kini kering kerontang dihisap kelapa sawit.

Walaupun ada, jumlahnya amat sedikit, bukan untuk dikonsumsi manusia, tetapi buat makanan sapi, bebek, ayam dan hewan ternak lainnya.

Saya yakin, di antara sekian ribu kompasianers tiada yang pernah sengsara seperti saya. Tetapi, saya tak pernah berkecil hati pada orangtua, sampai nanti ajal menjemput. 

Inilah kisah pahit yang pernah saya alami selama hidup berdampingan dengan pohon sagu. 

****

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Rumbia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun