Dua ratus hari kau tinggalkan aku, rindu ini semakin menggebu. Ingin kukabarkan padamu berita gembira berbumbu nestapa.
Bibit cinta yang kau semaikan, kini telah berdaun dua. Namun, tumbuhnya di padang pasir terdedah kemarau. Putik pun belum tentu menjadi buah. Aku bahagia di antara pedihnya luka yang berdarah.
Saat-saat begini aku butuh tangan kekarmu, melepaskan aku dari kejamnya takdir, melipur lara dikala gulana, menghapus pipiku saat mata ini basah.
Pulanglah! Ketuklah pintu, panggil namaku! Walau hanya dalam mimpi. Aku, dan tiga malaikat kecil kita rindu senyummu, rindu aroma tubuhmu, rindu belaianmu, rindu keikhlasan kasih sayangmu.
Kita bukan keluarga berada. Tapi, sepuluh tahun kebersamaanku dan kamu, dua musim cinta kita berbuah, kau didik aku menjadi manja. Kuangkat cucian, “Itu bukan urusanmu.” Kupegang sapu, “Habis lahiran perempuan harus istirahat total.”
Kini tiada lagi nada-nada itu merayu. Yang ada hanya ruang hampa. Ditingkahi detak sepatu wanita-wanita cantik berseragam putih, yang menoreh keheningan malam.
Mereka merawat aku dan bayi cantik kita dengan hati. Melebihi perhatiannya kepada penghuni lain di ruang berdinding putih ini. Seakan mereka hafal hiruk pikuk pasar malam di kepalaku.
Bukan salah siapa-siapa. Bukan kelalaian kamu, bukan pula kehendak aku. Garis hiduplah yang menentukan sesar adalah jalan terakhir. Tersenyumlah, tutuplah matamu, istihatlah di surgaNya. Suatu saat kita pasti berjumpa di alam yang sama.
****
Ditulis di Pinggir Danau Kerinci, 18/06/2020
Hj. Nursini Rais.