Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mitos Memukau di Balik Nilai Gizi Ikan Lele

29 Mei 2020   05:48 Diperbarui: 31 Mei 2020   04:27 3081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lele adalah salah satu ikan air tawar yang mudah ditemukan di negeri ini. Di daerah saya, ikan berkumis delapan ini hidup dan berkembang biak di Danau Kerinci, di sawah, dan di sungai-sungai.

Berdasarkan postur tubuhnya, di sini terdapat dua jenis ikan lele. Pertama bagian kepala lebih besar daripada badannya. Meruncing ke ujung ekor. Penduduk setempat menyebutnya lele dumbo.

Pada habitat aslinya lele dumbo tumbuh lebih besar daripada hasil budidaya. Bisa mencapai 1,5 kg. Bahkan pernah saya temui 2 kg lebih satu ekor.

Jenis kedua, antara kepala dan tubuhnya berimbang. Kalau sedang bertelur, justru badannya lebih gemuk dibanding bagian atas. Warga setempat menyebutnya ikan limbat. Ukurannya standar. Palingan satu ekor beratnya 0,5 kg.

Limbat ini ikan asli Danau Kerinci. Sudah ada jauh sebelum lele dumbo masuk ke Indonesia 1984 dari negeri asalnya benua Afrika. 

Mungkin karena bentuknya menggelikan, dan suka hidup di tanah berlumpur yang terkesan jorok, amat sedikit masyarakat sekitar Danau Kerinci yang suka makan lele. Padahal harganya relatif murah.

Kalau lagi musim, (waktu hujan malam dan air danau sedikit naik) lele segar cuman dihargai Rp 7-8 ribu per kilo. Yang mati malah lebih murah.

Lele Dumbo yang hidup di Danau Kerinci. Foto NURSINI RAIS.
Lele Dumbo yang hidup di Danau Kerinci. Foto NURSINI RAIS.
Ada cerita menarik dari tetangga yang suka makan lele. Apabila hujan pada malam hari, lele mundar-mandir di dalam sungai kecil (jalur irigasi) di depan rumahnya. "Dibantu cahaya senter HP, tinggal nusuk pakai tombak kecil. Saya ngambil seperlunya saja. Kapan kangen ditangkap lagi,” katanya.

 Mengutip dari sumbernya,

“Dalam 100 gram ikan lele, terkandung 122 kalori dan 6 gram lemak. Ini menunjukkan, kandungan lemak dan kadar kalori yang cukup rendah. Lele juga kaya vitamin dan mineral, seperti vitamin C, vitamin A, vitamin B kompleks, vitamin D, kalsium, magnesium, kalium, fosfor, natrium, dan zink."

Ikan lele (limbat) produk Danau Kerinci. Foto NURSINI RAIS
Ikan lele (limbat) produk Danau Kerinci. Foto NURSINI RAIS
Sumber lain menyebutkan,

“Kandungan gizi ikan lele memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan gizi daging hewan lainnya. Mudah dicerna dan diserap secara optimal oleh tubuh anak-anak, orang dewasa, dan lansia.”

Saya sendiri tidak suka makan lele. Pasalnya, semasa kecil almarhumah nenek sering bercerita. Suatu ketika pemuda perawan 18 tahun mendatangi rumah seorang perempuan tua. Maksudnya hendak melamar gadis cucu si nenek.

Lansia 80 tahun itu menjawab spontan, “Cucu saya belum cukup umur untuk nikah. Sama saya saja.”

Setelah melalui perundingan alot, akhirnya pemuda mengabulkan permintaan perempuan ubanan tersebut. Mereka resmi menjadi suami isteri.

Suatu malam, tiba-tiba tubuh pengantin perempuan gemetar kedinginan. Berlapis-lapis kain telah selimuti sang suami ke tubuh isterinya. Namun tiada tanda-tanda gigil akan reda.

Terakhir dia minta dibalut pakai tikar tradisional zaman old, yang dianyam dari daun pandan.

Setelah raga isterinya dia bungkus rapi, bukannya dikelonin supaya hangat. Tetapi si suami menggotongnya ke pinggir kali, lalu direndamnya dalam sungai. Kemudian dia pulang.

Besoknya, tubuh si nenek berubah menjadi ratusan bahkan ribuan ikan lele (limbat).

“Cobalah kau tengok insang limbat. Menyerupai insang nenek tua tak ada giginya.” Nenek menutup ceritanya.

Gara-gara cerita itulah saya tak suka makan ikan lele.

Dongeng ini dituturkan oleh orang-orang kampung saya secara turun temurun. Karena jarang pulang, saya tak tahu apakah sekarang cerita ini masih eksis di tengah masyarakat atau sudah tenggelam ditelan zaman. Wallahu alam bish shawab.

Demikian mitos unik di balik kelezatan dan gizi tinggi yang terdapat pada daging ikan lele.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun