Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sedih, Ketika Warga Miskin Nangis Minta Sembako, Padi Berhamparan di Pinggir Jalan

18 Mei 2020   05:23 Diperbarui: 18 Mei 2020   05:30 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian padi sawah di daerah Kerinci sedang dipanen, di tempat lainnya masih hijau, ada pula yang baru ditanam. (Dokumentasi NURSINI RAIS).

Sulitnya perekonomian saat ini mengingatkan kita pada masa krisis moniter 1998. Saking laparnya, zaman itu ada oknum warga mencuri nasi di tungku sekalian periuknya.

Saya lupa kejadiannya di daerah mana. Maklum sudah lama. Informasi belum segencar sekarang. Kami sekeluarga mengetahuinya  hanya lewat televisi hitam putih.

Seingat saya kala itu rakyat miskin tiada dapat bantuan apa-apa dari pemerintah (maaf kalau saya keliru). Kalaupun ada mungkin diperuntukkan bagi daerah tertentu saja. Diutamakan untuk masyarakat perkotaan seperti Jakarta.

Tidak seperti era sekarang. Rakyat terdampak Covid-19 dimanjakan dengan banyak bantuan sosial. Baik tunai maupun non tunai, dari pemerintah daerah,  pemerintah pusat.  Pemerintah desa pun ikut membantu. Belum lagi dari donatur pibadi yang bahu membahu, komunitas, dan perusaha-perusahaan swasta. Terutama bagi mereka yang berdomisili di kota-kota.

Pagi kemrin saya tersentuh membaca sebuah berita yang dilansir wartaekonomi.co.id, 17/5/2020. “Mengira bagi-bagi sembako, ratusan warga serbu kantor DPW PKB Sumut.  Ada warga yang menangis mohon diberikan bantuan sembako.”

Syukur, baik krisis moniter 1998, maupun krisis Covid-19,  tidak terlalu berdampak terhadap perekonomian kami di pedesaan (daerah Kerinci). Khususnya terhadap petani. Tanpa krisis pun  mereka tetap bersusah-susah. Kerja dulu, baru dapat makan.

Mungkin tersebab momennya pada bulan-bulan bersamaan, kondisi  krismon 1998 beda tipis dengan zaman darurat  Covid-19 sekarang. Sebagian petani daerah Kerinci sedang musim panen padi. Bersamaan pula dengan panen kopi.

Sebagian padi sawah di daerah Kerinci sedang dipanen, di tempat lainnya masih hijau, ada pula yang baru ditanam. (Dokumentasi NURSINI RAIS).
Sebagian padi sawah di daerah Kerinci sedang dipanen, di tempat lainnya masih hijau, ada pula yang baru ditanam. (Dokumentasi NURSINI RAIS).
Kemarin saya sengaja jalan-jalan ke Seleman desa tetangga.  Di sepanjang  bahu jalan padi berhamparan di penjemuran. Pemandangan serupa tampak pula di halaman dan gang-gang dalam dusun.

Musim panen begini dapat ditemui pada puluhan bahkan ratusan desa lain dalam Kabupaten Kerinci.

Di banyak tempat sawah masih tampak hijau. Tinggal menunggu padi matang. Ada juga yang sedang mencangkul dan menanam.

Dari dahulu sampai sekarang  normalanya begitu. Di satu tempat musim panen, di wilayah lain ada yang nyangkul, menanam, dan  menyiang. 

Peluang tersebut dimanfaatkan oleh sebagian petani untuk bekerja di sawah yang sedang panen. Masa-masa begini gajinya lumayan gede. Tergantung keuletan individunya. Sebab  memanen upahnya sistem borongan.

Asal mau kerja masyarakat tiada yang nganggur.  Di desa Seleman, perempuan dibayar Rp 10 ribu per jam.  Masuk pukul 07.00, keluar jam 12.00. Lima jam=Rp 50 ribu. Laki-laki Rp 100 ribu per tujuh jam.

Bedanya, Krismon 1998 petani  peladang lebih berbahagia ketimbang krisis Corona. Barang komuditi  mereka dihargai mahal mengikuti nilai tukar dolar AS. Terutama Kopi. (Berdasarkan berbagai sumber, Juni 1998, satu dolar AS sempat menyentuh level  Rp  16.550, dari Rp 4.000 pada  akhir 1997).

Selain menjemur padi, petani Desa Seleman juga sibuk mengeringkan kopi. (Dokumentasi NURSINI RAIS).
Selain menjemur padi, petani Desa Seleman juga sibuk mengeringkan kopi. (Dokumentasi NURSINI RAIS).
Herannya, momen seperti ini tak pernah lagi terulang. Setinggi apapun harga dolar AS,  produk komuditi petani tetap murah. Tidak seimbang dengan biaya operasionalnya.

Yang memprihatinkan saat ini nasib petani karet. Getah cuman laku dijual Rp 3.000 per kilogram.  Sungguh terlalu. “Kalau terus terusan begini, kami bisa membusuk melebihi busuknya getah karet,” kata  Pak Hatta salah seorang petani karet, saat saya ketemu dia sedang menuju kebunnya kemarin pagi.

Jerit pilu diratapi pula oleh petani cabe. Sebulan terakhir harganya terpelanting  ke angka 10 ribu di warung desa. Tak terkira seberapa murahnya pada  tingkat petani.

Terakhir sebagai informasi tambahan, bukan berarti Covid 19 tidak berdampak negatif  bagi ekonomi masyarakat Kerinci. Tetapi di lain bidang. Hal ini insyaallah akan diulas pada bagian berikutnya. Setidaknya sampai saat ini petani padi lumayan aman. 

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun