Peluang tersebut dimanfaatkan oleh sebagian petani untuk bekerja di sawah yang sedang panen. Masa-masa begini gajinya lumayan gede. Tergantung keuletan individunya. Sebab memanen upahnya sistem borongan.
Asal mau kerja masyarakat tiada yang nganggur. Di desa Seleman, perempuan dibayar Rp 10 ribu per jam. Masuk pukul 07.00, keluar jam 12.00. Lima jam=Rp 50 ribu. Laki-laki Rp 100 ribu per tujuh jam.
Bedanya, Krismon 1998 petani peladang lebih berbahagia ketimbang krisis Corona. Barang komuditi mereka dihargai mahal mengikuti nilai tukar dolar AS. Terutama Kopi. (Berdasarkan berbagai sumber, Juni 1998, satu dolar AS sempat menyentuh level Rp 16.550, dari Rp 4.000 pada akhir 1997).
Yang memprihatinkan saat ini nasib petani karet. Getah cuman laku dijual Rp 3.000 per kilogram. Sungguh terlalu. “Kalau terus terusan begini, kami bisa membusuk melebihi busuknya getah karet,” kata Pak Hatta salah seorang petani karet, saat saya ketemu dia sedang menuju kebunnya kemarin pagi.
Jerit pilu diratapi pula oleh petani cabe. Sebulan terakhir harganya terpelanting ke angka 10 ribu di warung desa. Tak terkira seberapa murahnya pada tingkat petani.
Terakhir sebagai informasi tambahan, bukan berarti Covid 19 tidak berdampak negatif bagi ekonomi masyarakat Kerinci. Tetapi di lain bidang. Hal ini insyaallah akan diulas pada bagian berikutnya. Setidaknya sampai saat ini petani padi lumayan aman.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H