Selama bergulirnya  tahun  2020, suasana rumah Kompasiana terasa beda.  Sebagian penghuninya diisi  individu-individu baru. Menilik foto-foto  pfofilnya, mereka umumnya berwajah milenial yang sangat enegig dan produktif.
Satu per satu kompasianer lama menghilang. Sebelumya ada Mbak Leya Cattleya penembus pintu HL ulung,  Prof. Pebrianov yang super lucu. Saya suka candaannya, Bambang Setyawan spesialis reportase hasil kunjungannya terhadap kaum duafa di desa, dan cewek cantik bermata biru Latifah Maurintha yang  berdarah fiksi.
Selain itu kita juga merindukan Mas Yunus, Hennie Engglina, Pudji Widodo, dan sederet nama lainnya tak bisa disebutkan satu persatu. Â Beliau-beliau ini penulis muda, cerdas, dan sangat produktif, dengan gaya tulisannya masing-masing.
Kalau boleh jujur, kini warga kompasiana telah bermetamorfosis (meski kecil-kecilan), dari generasi pracorona ke  generasi covid-19.
Komonikasi antar kompasianers pun berubah drastis. Setelah berkunjung ke lapak teman, para tamu tak segan-segan meninggalkan jejak. Minimal mencolek vote. Terlepas apakah mereka sekadar mengetuk pintu lalu pergi, Â atau masuk rumah, duduk sejenak, terus menyeruput seteguk air putih.
Ini merupakan kemajuan dan amat sedikit terjadi pada masa sebelumnya.
Namun sangat disayangkan. Jejak digital yang tertinggal kurang diikuti lonjakan  jumlah pembaca.
Beda dengan zaman pracorona, dikala komen  dan vote melimpah, dibarengi jumlah viewers yang lumayan. Meski tidak banyak-banyak amat.
Mungkin ini hanya problem saya sendiri. Mengingat, tulisan nenek-nenek dengan kejadulannya, kurang dilirik oleh generasi milenial, yang jiwa kekiniannya sedang bergelora. Sehingga viewers kian terasa mahal.
Jika dicermati, konten-konten tayangan pun agak bergeser. Porsi fiksi sedikit lebih gemuk daripada sebelumnya. Indikasi ini menunjukkan, bahwa para pendatang baru banyak yang bergendre sastra. Sampai-sampai nenek jompo ini pun terobsesi belajar nulis puisi. Apakah hasilnya  puisi benaran atau puisi ecek-ecek. Hanya Mas/Mbak admin yang bisa menilai. He he ...
Apapun kendalanya, kalau tak ada aral melintang saya ingan tetap eksis di kompasiana untuk seribu tahun lagi.
Demikian  curhatan  ini saya tulis berdasarkan  opini pribadi, yang tumpah dari lubuk hati terdalam.  Maafkan saya ya,  Mbak-mbak dan Mas-mas admin, kalau bualan ini terlalu vulgar. #SalamDariRumahAja, di Pinggir DanauKerinci.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H