Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aduh Emak ...! Aduh Bapak ...! Jangan Bercerai!

22 Desember 2019   18:50 Diperbarui: 22 Desember 2019   19:18 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: popmama.com

Akhir-akhir ini, angka perceraian di negeri ini cukup meresahkan.  Pelakunya dari semua kalangan. Mulai masyarakat akar rumput sampai ke publik figur jutaan pengikut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,  dalam kurun 3 tahun pasangan yang bercerai di Indonesia sebagai berikut, 2015=353.843, 2016=365.654, dan 2017=374.516. Dari data tersebut, bisa ditaksir, terjadi satu perceraian dalam setiap lima pernikahan. (kumparannews, 28/10/2019).

Selanjutnya, dikutip oleh detikcom  dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sepanjang 2018 terjadi perceraian sebanyak 419.268. Angka yang tidak kecil. Mendekati setengah juta. Meningkat 44.752 dari tahun 2017. 

Perceraian  itu identik dengan perseteruan. Tanpa berseteru tak mungkin suami isteri itu berpisah. Mirisnya, pascaperceraian,  keduanya merasa menang karena telah berhasil mempertahankan egonya masing-masing.  Yang menjadi korban, adalah anak-anaknya. Terutama jika mereka masih kecil-kecil.  Belum selayaknya ikut menanggung  beban atas konflik yang diciptakan oleh kedua  manusia dewasa tersebut.

Andai bocah-bocah tak berdosa itu boleh bersuara, mereka pasti berteriak, "Aduh Emak ...! Aduh Bapak ...! Jangan bercerai!" 

Efek perceraian orangtua itu maha  dahsyat  dan sangat menyakitkatkan bagi anak-anak.

Parahnya, belum lama bercerai pemegang hak asuh anaknya menikah lagi (katakanlah dia sosok ibu).

Inilah momen paling menyedihkan bagi anak-anak. Siapa yang tidak kecewa.  Belum lama kehilangan kasih sayang  ayah,  ibunya dirampas lelaki lain. Luka lama belum bertaut, luka baru  menganga lagi. Meskipun sebenarnya  cinta sang ibu kepada putra-putrinya tak pernah tergerus oleh apapun,  kekhawatiran dan kecemburun itu pasti dirasakan oleh anak-anak.

Semasa muda, saya pernah mencibir seorang sahabat dalam hati.  Pasalnya  belum sebulan punya suami baru,  dia bertutur, "Suamiku yang ini baek, lho. Sayang pada -anak-anakku. Dikasih uang jajan, diajak naik motor, bla, bla .... Anak-anak juga senang. Mereka  malah lebih dekat dengan bapak barunya ketimbang ayah kandungnya sendiri."  

Bagi saya, certa karibku itu adalah  sebuah sandiwara. Judulnya "dipaksa-paksakan". Suami baru dipaksa menjadi baik, anak-anaknya  dipaksakan ngaku senang.

Jujur.  Saya sudah melewatinya saat usia 5 tahun. Sebaik apapun seorang  bapak tiri, awal-awalnya rasa shock dan sentimen itu pasti ada.  Kenapa? Ya, kerena emak saya ditiduri pria  lain. Bukan sama ayah kandung saya.

Setelah aroma pengantinnya pudar. Satu persatu konflik bermunculan. Kasusnya tak jauh-jauh dari perkara bapak sambung  dan anak tiri.

Pengalaman lain bercerita. Rozi bukan nama sebenarnya, seorang bocah cowok   tiga tahun setengah. Belum  4 bulan ayah dan ibunya berpisah, emaknya kawin lagi dengan AP (40). Usai akad nikah, mereka  numpang di rumah kerabatnya, yang kebetulan tetangga saya.

Setiap malam sayup terdengar dari kamar saya  Rozi mengis. Hati saya seakan teriris. Saya berpikir, mungkin  Rozi menangis karena takut tidur sendirian, atau dia rindu kepada ayah kandungnya.  Boleh jadi juga dia antipati kepada  AP  karena meniduri emaknya. Kondisi ini berlangsung cukup lama. Akhirnya mereka pindah ke kontrakan lain.

Saat kelas 4 SD dan punya dua adik baru, Rozi dipulangkan  pada neneknya. Sebab gara-gara dia,  AP dan emaknya sering cek-cok. 

Yang disesalkan, setelah Rozi dewasa dan pandai cari duit, si AP mulai bermalas-malasan. Tanggung jawab menafkahi keluarga lebih banyak Rozi yang memikulnya. 

Kisah lain tak kalah miris. Uyun bukan nama sebenarnya. Ibunya menikah lagi saat dia usia 6 tahun. Dari awal bapak sambungnya BD menunjukkan gejala kebencian kepada Uyun.  Apabila Uyun mau makan, tunggu dulu  BD sedang pergi. Kalau tidak,  suami isteri itu pasti bertengkar.

Tak tahan dengan perlakuan BD, Uyun keluar dari rumah. Numpang tinggal di warung nasi.  Bantu-bantu ngangkat air dan cuci piring.  Di sanalah dia besar dan dewasa. Padahal rumah yang ditempati ibunya dan BD itu dibangun oleh ayah kandung Uyun. Sayangnya  yun tak sempat  mengenyam pendidikan. 

Ini cuma segelintir kisah pilu yang dialami anak laki-laki setelah orangtuanya bercerai dan  ibunya  ganti suami. Andai dia anak perempuan tentu  ceritanya lain lagi. Tak sedikit mereka menjadi objek kekerasan seksual oleh ayah tirinya.

Sungguh pun demikian, tergantung manusianya. Banyak juga bapak sambung yang  baik terhadap anak tiri. Salah satunya bapak tiri saya.

Menurut pengalaman, soal perlakuan kaum adam terhadap anak tiri ini sedikit banyaknya dipengaruhi oleh tradisi. Ada suatu kelompok masyarakat yang kaum bapaknya siap menerima kehadiran anak tiri dalam keluarganya. Kelompok lainnya hampir semua laki-laki yang menikahi janda punya anak,  berlaku kejam terhadap anak tiri.

Saya yakin, siksaan yang dialami oleh anak-anak seperti Rozi dan Uyun tidak  diketahui oleh ayah kandung mereka. Di sisi lain, manusia yang royal mengucapkan talak itu bersenang-senang dengan pasangan barunya.

Masalah nafkah anak-anak pasca orangtuanya bercerai,  banyak mantan suami yang ingkar terhadap tanggung jawabnya. Sebagian lainnya memang bertanggung jawab. Tetapi, urusan  kasih sayang dan kebersamaan tak akan tertukar dengan uang.

Terakhir, selaku nenek-nenek yang sudah sepuh, saya menghimbau pasangan yang punya anak, berhentilah menjadikan  perceraian untuk mencari benar salah. Tenggelamkan sikap egois ke laut. Karena keangkuhan kalian anak-anak menderita. Jadikanlah ritual pernikahan pertama itu sebagai yang terakhir. Kecuali dipisahkan oleh maut. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun