Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ya Ampun! Begini Guru dan Murid SR Era Enam Puluhan

26 November 2019   22:28 Diperbarui: 26 November 2019   22:58 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu moment berkesan dalam hidup saya adalah  saat diterima  masuk di Sekolah Rakyat (SR). Bagi Emak, ini adalah hasil perjuangan beliau yang mendebarkan.

Sebab, tahun sebelumnya (1960), tangan kanan saya belum mencapai telinga kiri dan sebaliknya, jika dijangkau melewati ubun-ubun.

Artinya, saya dianggap belum matang untuk bersekolah. Padahal, kata Emak umur saya sudah 8 kali puasa. Tetapi tubuh ini kerdil seperti anak 5 tahun.

Pak Sian (baca: Si-An), begitu Pak guru itu disapa. Beliau mencecar saya dengan berbagai pertanyaan.  Di antaranya, tentang nama saya, alamat, nama orangtua, dan hal lain di lingkungan saya. Semuanya terjawab. 

Tes berikutnya, Pak Guru mengetok meja. 

 "Hitung, ya! Berapa kali Bapak memukul meja," katanya. "Tok, tok, tok, tok." ketokannya agak berjeda.

"Empat kali."

"Tok, tok, tok, tok, tok."

"Lima kali."

"Tok, tok, tok, tok, tok, tok, tok."  Ketokan agak cepat.

"Tujuh kali."

 "Bagus." Pak guru menjempoli. "Kamu diterima,"

Emak tersenyum puas.

Karena tiada berpapan nama, sampai sekarang saya tidak tahu namanya SR tersebut.  Alasan lain, saya di sana hanya satu tahun. Kemudian  pindah ke negeri lain, ikut orangtua merantau. Ketika kami pulang, bangunannya telah dibongkar.

Yang saya ingat, lokasinya  di Pasar Gedang Inderapura. Kurang lebih satu kilometer dari kediaman saya. Gedungnya beratap rumbia, berlantai tanah, dindingnya papan model susun sirih dan berlobang-lobang. Posisinya di pinggir sawah. Musim hujan  lantainya becek.  

Waktu pulang kampung November lalu, saya coba mencari informasi. Rupanya sekolah tersebut filial yang berinduk di SR Celuang. Kurang lebih 5 kilometer ke arah timur.

Ruang belajarnya ada dua. Pak Sian adalah guru  satu-satunya. Beliau mengampu murid kelas satu dan dua, sistem paralel.

Pak Sian, orangnya kecil. Perkiraan saya, tingginya 140 cm, beratnya 45 kg. Sudah berumur, giginya tinggal beberapa biji. Tetapi cara mengajarnya enak dan tidak pemarah.

Setiap hari beliau pakai peci hitam. Warnanya  telah menguning seperti padi mulai matang.  

Murid berpakaian seadanya, tanpa seragam. Bahkan bajunya banyak yang bertambal. Hanya satu dua yang pakai sendal, sisanya nyeker.

Masih terngiang di telinga saya, "Tak apa-apa pakai baju bertambal. Yang penting bersih," kata Pak Sian menasehati kami. "Pagi-pagi harus mandi, jangan lupa menggosok gigi." tambahnya. Nasehat ini sering beliau ulang-ulang. 

Saya paling patuh mengikuti nasehat Pak Guru. Bangun pagi terus mandi di sungai. Gosok gigi pakai arang kayu bakar. Biar putih mengkilat, sesekali menggosoknya pakai daun rumput bento, gulma yang biasa tumbuh di sawah. 

Walau tidak terlalu pintar, saya relatif cepat pandai membaca. Yang saya takuti pelajaran olahraga.

Permainannya hanya dua macam. Pertama, main kasti. Saya takut kena bola. Terutama yang melemparnya anak laki-laki. Selain tukang hore Tugas saya, menjaga kelas dan  mengambil bola kalu terpental keluar lapangan.

Ke dua, main kambing dan harimau. Didominasi oleh anak cowok dan perempuan bertubuh jumbo. Pak guru tak pernah memaksa saya.

Guru seperti Pak Sian tidak saya temui di Sekolah Rakyat lain. Katakanlah pada sekolah induk di Celuang. Rata-rata Ibu dan Bapak Guru-nya kejam.

Kelas 3 tak hafal kali 1 sampai 10, nilai latihan kurang dari 6, telat datang, dan masalah remeh-temeh, ganjarannya tegak di samping papan tulis, menghadap pada rekan sekelas sampai jam istirahat. Plus dipukul pakai rol. Saya keseringan telat datang, karena bolak balik jauh dari kebun.

Anak cowok yang hobi berkelahi, diadu di depan kelas, disuruh saling tarik telinga. Dan yang kelewat nakal, hukum kurungan di dalam WC tua. Tetapi, ini jarang terlaksana.

Tidak salah, zaman itu murid sangat takut kepada guru. Termasuk saya. Kapan berjumpa di jalan, murid lari pontang panting. Beda dengan anak sekarang. Alpa ke sekolah tanpa alasan, kalau bertemu seenaknya dia menyapa guru sambil tersenyum.  

Penderitaan dimarahi guru, tidak berani melapor pada orang tua. Kalau mereka mengetahui  karena diberi tahu teman, si anak malah dapat marah tambahan. Emak atau Bapak menganggap anaknya bodoh dan kurang ajar terhadap guru.

Setelah saya menjadi guru, kondisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Saat bertemu, guru-guru yang saya takuti dahulu, mereka menyapa ramah. Ada Ibu Guru yang mengelus-elus mesra  punggung saya. Terpancar kebanggaan di senyumnya.

Sayangnya, 20 tahun terakhir wajah-wajah tersebut tiada lagi saya jumpai. Apakah mereka masih hidup atau telah tiada.

Kenangan  ini saya tulis sebagai tanda ketulusan hati, bahwa saya tak sedikit pun menyimpan dendam terhadap mereka. Mereka tidak bersalah. Mereka orang baik. Buktinya mereka bangga atas keberhasilan saya. Yang salah, sistem pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah kolonial.

Terakhir, mumpung dalam suasana Hari Guru Nasional, saya kirimkan doa dan alfatihah buat seluruh  almarhum/almarhumah guru bangsa yang telah tiada. Semoga arwah mereka berbahagia di syurga sana. Dan doa selamat doa sehat buat para guru yang sudah purna dan masih bertugas, di mana saja mereka berada.  Salam Tut Wuri handayani  dari Pinggir Danau Kerinci.  

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun