Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ya Ampun! Begini Guru dan Murid SR Era Enam Puluhan

26 November 2019   22:28 Diperbarui: 26 November 2019   22:58 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: edukasi.kompas.com

Walau tidak terlalu pintar, saya relatif cepat pandai membaca. Yang saya takuti pelajaran olahraga.

Permainannya hanya dua macam. Pertama, main kasti. Saya takut kena bola. Terutama yang melemparnya anak laki-laki. Selain tukang hore Tugas saya, menjaga kelas dan  mengambil bola kalu terpental keluar lapangan.

Ke dua, main kambing dan harimau. Didominasi oleh anak cowok dan perempuan bertubuh jumbo. Pak guru tak pernah memaksa saya.

Guru seperti Pak Sian tidak saya temui di Sekolah Rakyat lain. Katakanlah pada sekolah induk di Celuang. Rata-rata Ibu dan Bapak Guru-nya kejam.

Kelas 3 tak hafal kali 1 sampai 10, nilai latihan kurang dari 6, telat datang, dan masalah remeh-temeh, ganjarannya tegak di samping papan tulis, menghadap pada rekan sekelas sampai jam istirahat. Plus dipukul pakai rol. Saya keseringan telat datang, karena bolak balik jauh dari kebun.

Anak cowok yang hobi berkelahi, diadu di depan kelas, disuruh saling tarik telinga. Dan yang kelewat nakal, hukum kurungan di dalam WC tua. Tetapi, ini jarang terlaksana.

Tidak salah, zaman itu murid sangat takut kepada guru. Termasuk saya. Kapan berjumpa di jalan, murid lari pontang panting. Beda dengan anak sekarang. Alpa ke sekolah tanpa alasan, kalau bertemu seenaknya dia menyapa guru sambil tersenyum.  

Penderitaan dimarahi guru, tidak berani melapor pada orang tua. Kalau mereka mengetahui  karena diberi tahu teman, si anak malah dapat marah tambahan. Emak atau Bapak menganggap anaknya bodoh dan kurang ajar terhadap guru.

Setelah saya menjadi guru, kondisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Saat bertemu, guru-guru yang saya takuti dahulu, mereka menyapa ramah. Ada Ibu Guru yang mengelus-elus mesra  punggung saya. Terpancar kebanggaan di senyumnya.

Sayangnya, 20 tahun terakhir wajah-wajah tersebut tiada lagi saya jumpai. Apakah mereka masih hidup atau telah tiada.

Kenangan  ini saya tulis sebagai tanda ketulusan hati, bahwa saya tak sedikit pun menyimpan dendam terhadap mereka. Mereka tidak bersalah. Mereka orang baik. Buktinya mereka bangga atas keberhasilan saya. Yang salah, sistem pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun