"Bagus." Pak guru menjempoli. "Kamu diterima,"
Emak tersenyum puas.
Karena tiada berpapan nama, sampai sekarang saya tidak tahu namanya SR tersebut.  Alasan lain, saya di sana hanya satu tahun. Kemudian  pindah ke negeri lain, ikut orangtua merantau. Ketika kami pulang, bangunannya telah dibongkar.
Yang saya ingat, lokasinya  di Pasar Gedang Inderapura. Kurang lebih satu kilometer dari kediaman saya. Gedungnya beratap rumbia, berlantai tanah, dindingnya papan model susun sirih dan berlobang-lobang. Posisinya di pinggir sawah. Musim hujan  lantainya becek. Â
Waktu pulang kampung November lalu, saya coba mencari informasi. Rupanya sekolah tersebut filial yang berinduk di SR Celuang. Kurang lebih 5 kilometer ke arah timur.
Ruang belajarnya ada dua. Pak Sian adalah guru  satu-satunya. Beliau mengampu murid kelas satu dan dua, sistem paralel.
Pak Sian, orangnya kecil. Perkiraan saya, tingginya 140 cm, beratnya 45 kg. Sudah berumur, giginya tinggal beberapa biji. Tetapi cara mengajarnya enak dan tidak pemarah.
Setiap hari beliau pakai peci hitam. Warnanya  telah menguning seperti padi mulai matang. Â
Murid berpakaian seadanya, tanpa seragam. Bahkan bajunya banyak yang bertambal. Hanya satu dua yang pakai sendal, sisanya nyeker.
Masih terngiang di telinga saya, "Tak apa-apa pakai baju bertambal. Yang penting bersih," kata Pak Sian menasehati kami. "Pagi-pagi harus mandi, jangan lupa menggosok gigi." tambahnya. Nasehat ini sering beliau ulang-ulang.Â
Saya paling patuh mengikuti nasehat Pak Guru. Bangun pagi terus mandi di sungai. Gosok gigi pakai arang kayu bakar. Biar putih mengkilat, sesekali menggosoknya pakai daun rumput bento, gulma yang biasa tumbuh di sawah.Â