Sebelumnya mohon maaf kalau tulisan ini bernuansa  gosip. Daripada dia mundar-mandir di kepala saya, mending dibagikan  pada pembaca dan sahabat kompasianers. Semoga bisa  dijadikan pembelajaran.
Begini ceritanya.  Berjalan kaki ke perbatasan desa "GRT", adalah rutinitas saya dan nenek-nenek sebaya. Kegiatan ini kami lakukan  setiap keluar dari Musala usai menunaikan Salat Subuh.
Yang namanya desa, sebelum terbit matahari suasananya agak sepi. Terlebih jalur yang kami tempuh merupakan jalan Kabupaten. Di lingkungi sawah yang amat luas. Bersua pejalan kaki termasuk peristiwa langka. Kecuali mobil atau pengendara motor. Itupun pada hari-hari tertentu. Seperti hari pekan  yang lokasinya  beberapa kilometer ke arah barat.
Kebetulan, pagi Jumat  25 Oktober yang lalu, kami bertemu sepasang suami isteri dari arah yang berlawanan. Sepertinya mereka juga jalan-jalan pagi.Â
Kami cuek, mereka pun acuh. Habis, tak ada kepentingan untuk mengkepo-kepoi.Â
Pulangnya kami kembali berpapasan pada titik yang sama. Wajah keduanya asing bagi kami. Saya beranikan diri untuk menyapa.
Isterinya menjawab, "Kami dari kota P, Bu. Ke sini ada acara nikahan adik suami saya. Calon isterinya orang sini. Dia dokter, bekerja di kota kami. "
 "Kalau boleh tahu, namanya siapa, ya?"
"Cantika. (bukan nama sebenarnya). Bapaknya Pensiunan Polisi. Buka usaha di Papua. Ibunya Guru, telah meninggal."
"Tinggalnya?" Saya semakin penasaran.
"Satu, dua," Wanita muda itu menunjuk ke Desa GRT. "Nomor dua dari sini, Bu," tambahnya. Â