Hal ini dapat dipahami tersebab suami saya belum berpengalaman. Separoh lebih usianya dihabiskannya sekolah dan bekerja di Tanjung Priuk Jakarta.
Sehabis itu subsidi tamat. Untuk perawatan suami harus mandiri. Mulai penyiangan, sampai menunggunya dari pagi sampai sore agar daunnya tidak dimakan simpase.
Kami tak punya uang untuk membayar pekerja. Warung ditutup total. Hidup kami hanya bermodal tulang delapan potong dan tak pernah merengek pada orangtua. Sekadar biaya makan, terpenuhi dari hasil menjahit.
Di kampung, yang namanya berkebun lokasinya pasti di hutan. Suami saya takut pergi sendirian. Katanya, zaman dia kecil area kebunnya saat itu sarang harimau.
Dengan sangat terpaksa, dia berusaha menyelamatkan tanaman yang sudah ditanam itu. Berangkat pukul enam pagi, pulang jam enam sore.
Entah berapa stel pakaiannya dia korbankan untuk membuat orang-orangan. Lalu dipasangkannya di tengah kebun. Katanya untuk menakut-nakuti babi, monyet, atau musuh apapun.
Pernah suatu siang, hujan turun rintik-rintik. Saya sedih memikirkan dia di tengah kebun dalam ketakutan. Tanpa pikir panjang, saya menyusulnya berjalan kaki sendirian, melewati hutan damar yang lumayan seram. Jarak tempuh kurang lebih 1,5 km.
Sampai di sana, suami saya histeris dan beristigfar panjang. Kata orang tua-tua, tabu besar bagi perempuan bunting gadis (hamil pertama) masuk hutan. Konon oleh harimau aromanya seperti nangka matang. Di sana kami menangis sejadi-jadinya.Â
Karena lahannya dikelilingi belukar, suami saya cuma berani merumput di bagian tengah. Pinggirnya dia biarkan semak. Efeknya, kebun cabenya tinggal kira-kira sepertiga dari luas awal. Padahal, saat kami panen, kebetulan harga cabe sedang melambung tinggi.
Hasil penjualan cabe, kami jadikan modal turun ke sawah. Padi kami tumbuh dengan suburnya. Harapan saya melangit. Suami bilang, "Mungkin ini Rezeki si bayi. Buat biaya melahirkan."