Ketika sesorang mengidap gangguan jiwa, yang paling terbebani adalah pihak keluarga. Kecuali tingkat kepedulian  mereka amat rendah, dengan berbagai alasan.Â
Misalnya sudah bosan karena berkali-kali keluar masuk RSJ, kemudian sembuh-sembuh kambuh. Atau barangkali keluarga dekatnya, orangtua, anak, dan saudara kandungnya telah tiada.
Jika demikian, tiada jalan lain kecuali pasrah, membiarkan mereka semaunya. Asalkan tidak mengganggu lingkungan. Â
Sementara penderitanya enjoy-enjoy saja. Ke mana dan mau melakukan apa tak bisa dilarang. Sebagian dari mereka terlihat sangat berbahagia dalam kegilaannya. Seperti yang pernah saya tulis di sini.
Memang kondisi begini tidak berlaku untuk semua penderita gangguan jiwa, yang biasa disebut orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Tergantung penyebabnya.Â
Apakah efek putus cinta, karena kekuasaan, kerusakan otak, faktor genetik  atau kasus lainnya. Saya tak berani berasumsi karena saya bukan Psikiater.Â
Paparan ini hanya dugaan, berdasarkan apa yang tampak di lingkungan.
Sering mundar-mandir di depan rumah saya, seorang perempuan muda dari desanya ke ibu kota Kabupaten. Â Jarak tempuhnya kurang lebih 35 km pulang pergi. Kadang-kadang sambil berjalan dia bernyanyi dan senyum-senyum sendiri. Wajahnya bercahaya seperti tiada beban.
Wanita lainnya berusia 45 tahun. Sesekali dia keluar pagi Subuh. Dengan tas tersandang di bahu dia berjalan kaki tak tentu arah. Katanya mau mengajar. Dahulunya dia memang seorang guru.
Ada lagi tingkat keparahannya telah mencapai klimaks. Keluar malam atau tak pulang-pulang beberapa hari adalah hal biasa.Â
Perempuan seperti ini acapkali menjadi objek kekerasan seksual oleh lelaki yang tidak bertanggung jawab. Terus hamil dan melahirkan. Tak heran, pihak keluarga lebih memilih mengisolasinya di ruangan khusus.Â