Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

"Perak-perak" Kidung Lawas Nak Rantau nan Tak Pernah Usang

30 Agustus 2019   06:44 Diperbarui: 30 Agustus 2019   13:52 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi :pituluik.com

Saya lahir dengan gendre perantau. Hal ini bukan tanpa alasan. Lingkungan telah membesarkan saya dalam kondisi begitu.

Zaman saya kecil, pergi merantau  merupakan trendi  bagi pemuda kampung yang  berpendidikan. Apabila lulus sekolah, jangan harap mereka tetap di kampung. Meskipun yang bersangkutan hanya lulusan Sekolah Rakyat. Dasar anak Minang. Seseorang belum dikatakan hebat sebelum dia merantau.

Negeri tujuannya tidak jauh-jauh. Paling-paling  ke kota Padang dan bekerja sebagai anak buah  kapal. Ceritanya, mereka berlayar ke Pulau Pagai, Mentawai, Sibolga, ada juga ke Pulau Jawa dan pulau lainnya.

Sementara anak gadis, sangat tabu meninggalkan kampung. Kecuali ikut orangtua, saudara,  atau suami.  Tradisi ini ditaati oleh semua anak cewek tanpa kecuali.

Namun, bawaan petualang saya tak pernah padam. Justru semakin membara ketika menyaksikan anak rantau pulang sekali-sekali.  Gayanya minta ampun. Kulitnya bersih, pakaiannya rapi. Saya berpikir, hidup di rantau itu enak.

Selain anak laki-laki, ada pula keluarga saya yang tinggal di Riau. Dia ikut suaminya yang bekerja di PT Caltex. Sebuah perusahaan asing yang mengelola pertambangan.

Ketika dia sekeluarga pulang kampung, Emaak ...! Mata saya terbelalak melihat gaya hidupnya bergelimang uang dan kemewahan.

Sedangkan saya, semasa itu tinggal bersama Emak yang hanya seorang single parrent. Tapi untuk urusan sandang dan pangan, bagi kami berdua sudah lumayan. Sebab dari muda Emak  berprofesi sebagai pedagang kere.

Perantau dari Riau inilah yang melambungkan ambisi saya. Apabila sudah besar kelak saya bercita-cita keluar dari kampung halaman. Cita-cita hanya satu. Ingin jadi orang kaya.

Mulai usia menginjak dewasa, saya berharap dapat jodoh seorang perantau. Atau setidaknya lanang kampung yang bekerja dan berdomisili di luar daerah.

Mimpi ini sangat mempengaruhi kejiwaan saya. Apabila mendengarkan lagu Minang yang bertema merantau, hati saya tersentuh. Seakan kehidupan saya yang dikisahkan dalam lagu tersebut.

Kidung-kidung lawas tersebut dapat saya nikmati melalui radio milik orang terkaya sekampung. Orang kaya yang tidak pelit versi saya. Setiap benda berbentuk balok itu dinyalakan, sang pemilik sengaja membesarkan volumenya. 

Menyaingi suara toa Masjid Muhamadiyah kota Padang menjelang masuknya waktu Subuh. Keuntungannya, walaupun tiada orang yang mampu membeli radio, warga setempat dapat mendengarnya dari jauh.

Tembang yang paling menyentuh hati saya adalah Perak-Perak disenandungkan oleh Elly Kasim.  Apabila saya mendengarkan lagu tersebut seorang diri, tanpa sadar air mata saya menetes. Syairnya mengisahkan seorang anak yang meninggalkan pesan pamit sebelum melangkah ke tanah rantau.

Perasaan begini terus merasuki hati saya sampai waktu tak terbatas. Parahnya, setelah Emak menikah lagi. Super parah ketika saya bandel dan dimarahi Emak. Bahkan saat menulis paragraf ini saya serasa berada di era enam puluhan.

Nada dan iramanya dapat di simak pada video berikut ini.


Perak Perak

Cipt. Yoesaf Rachman

Indak Den sangko bak cando iko
Ondeh nyo untuang, untuangnyo badan
Bapisah jauah jo kampuang nan Den cinto
Bapisah jauah jo kampuang nan Den cinto

Antah ka baa Denai di rantau
Ondeh nyo untuang, untuangnyo badan
Tingga tapian tampek barulang mandi
Tingga tapian tampek barulang mandi

Tinggalah sayang tinggalah kasiah
Ondeh nyo untuang, untuangnyo badan 


Tinggalah sayang tampek pautan hati
Tinggalah sayang tampek pautan hati
Tinggalah sayang tampek pautan hati
Tinggalah sayang tampek pautan hati 

Sumber   

Bila diterjemahkaan  ke dalam Bahasa Indonesia, artinya kira-kira begini:

Perak-Perak

Tidak saya sangka seperti ini
Hai untung, untungnya badan
Berpisah jauh dengan kampung yang saya cinta
Berpisah jauh dengan kampung yang saya cintai

Entah bagaimana saya di rantau
Duhai untunngnya, badan
Tinggallah tepian tempat berulang mandi
Tinggallah tepian tempat berulang mandi

Tinggalah sayang, tinggallah kasih
Duhai nasib, nasibnya badan

Tinggallah sayang tempat pautan hati
Tinggallah sayang tempat pautan hati
Tinggallah sayang tempat pautan hati
Tinggallah sayang tempat pautan hati

Inilah sebuah tembang lawas berbahasa Minang bertema merantau, yang tak pernah usang dalam kenangan saya selama hayat  dikandung badan.  Padahal, seingat saya tahun enam puluhan lagu ini sudah dipopulerkan oleh pelantunnya Elly Kasim.

Berkaitan dengan judul, sampai tulisan ini tayang, saya belum mendapat penjelasan yang pasti. Mengapa harus menggunakan kata ulang "Perak-Perak".

Mengacu dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, perak adalah logam berwarna putih (dalam keadaan murni) yang lunak dan lentuk sehingga mudah ditempa. 

Sedangkan perak-perak = serangga bangsa Thysanura berbadan pipih mengilap seperti warna perak, berukuran 8-15 mm, memiliki sungut dua di depan dan tiga cemet di belakang. Makanannya bahan yang mengandung karbohidrat.

Penggunaan lain dari kata "Perak",  adalah nama salah satu kelurahan di Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat. (Wikipedia). Semoga ada kompasianers lain yang tahu, mengapa lagu ini diberi judul Perak-Perak. Salam dari nenek rantau.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun