Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Impor Rektor Sesuatu yang Haram?

4 Agustus 2019   08:34 Diperbarui: 5 Agustus 2019   04:23 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : uinsu.ac.id

Sempat digaungkan tahun 2016, gagasan presiden Joko Widodo merekrut rektor dari luar negeri untuk memimpin Perguruan Tinggi  di tanah air, kini mencuat kembali. Langkah tersebut diambil pemerintah untuk meningkatkan mutu Perguruan Tinggi  di Indonesia, agar mampu bersaing di level Internasional.  Hal ini menuai pro dan kontra  dari berbagai kalangan.

Dikutip dari sumbernya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyayangkan wacana tersebut. Menurutnya, gagasan ini kontraproduktif dengan misi Presiden Jokowi memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri. 

Lain Hikmahanto Juwana  beda pula Prof Dr Zakiyuddin.  Rektor IAIN Sala Tiga itu  menyambut positif gagasan tersebut. Dia menilai perkembangan  dunia pendidikan sekarang sulit dipisahkan dengan perkembangan global.

"Ini memang perlu dicoba hanya saja harus terbatas tidak langsung menyeluruh pada PTN-PTS di Indonesia. Lalu, yang tidak boleh hilang adalah amanat undang-undang tugas PT itu memenuhi hak dasar kebutuhan pendidikan warga negara," katanya. Lengkapnya klik di sini. 

Tidak ada yang salah dan tiada pula yang benar seratus persen pendapat kedua akademisi tersebut. Masing-masing mereka punya alasan kuat. Yang jelas, setiap aksi pasti ada reaksi.

Apabila rencana tersebut dieksekusi, tentu banyak hal yang mesti dipertimbangkan, mulai dari masalah penggajiannya yang jauh lebih tinggi  dan menyerap dana super besar, sampai ke kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial di kalangan rektor dan dosen dalam negeri.

Sebaliknya, pemerintah kita juga harus berani keluar dari zona nyaman. Mengingat selama 10 tahun terakhir negara telah menggelontorkan dana pendidikan begitu besar. Yaitu 20% dari total anggaran belanja dan pendapatan negara. Namun out putnya belum sesuai dengan harapan.

Saya tidak mengulas persoalan ini  lebih detail. Karena saya bukan pakarnya. Tetapi, polemik ini membuat pikiran saya mundur ke zaman ketumbar dahulu.

Semasa tinggal di kampung, setengah abad yang lalu, saya bangga pada diri sendiri. Juara umum saya yang pegang. Baca Al-Quran  tak terkalahkan oleh siapa pun. Pendek kata, rasanya sayalah orang terpintar sekampung."Seperti katak di bawah tempurung."

Setelah bersentuhan dengan dunia luar, saya terperangah. Seujung rambut dibelah tujuh pun tak sanggup menyaingi  kehebatan orang lain. Bersekolah di luar daerah, caturwulan pertama saya menduduki rangking kelas nomor dua terakhir.

Saya malu pada diri sendiri. Mulai saat itu saya sadar bin tobat, bahwa saya sebenarnya orang bodoh dan harus belajar lebih banyak lagi.  

Tanpa bermaksud mengecilkan tradisi sekelompok masyarakat tertentu, saya ingin berbagi kisah lain. Lagi-lagi pengalaman puluhan tahun yang lalu.

Saat pertama saya memasuki suatu dusun, penduduknya alergi dan anti berjodoh  dengan pendatang. Menikah dengan suku lain adalah suatu aib. Kalau terlanjur terjadi, pelakunya harus siap menerima tudingan miring. 

Pertama, yang bersangkutan dianggap tidak laku di negerinya sendiri tersebab satu dan lain hal. Ke-dua, barangkali orangtua  si pengantin berkasus dalam masyarakat.

Belum lagi risiko sosial yang harus ditanggung oleh anak-anaknya kelak.  Mereka akan sering dibully. Dikit-dikit, "Eh, dasar. Kamu anak suku 'A'. " Sebaliknya, perkawinan antar keluarga adalah  kebanggaan sanak famili.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Sekaya apapun sebuah keluarga, masakan alakadarnya saja. Apabila ada suatu perhelatan yang akan mengundang tamu lain, mereka pakai jasa tukang masak dari luar. Belum banyak yang pandai berdagang. Apalagi berjualan makanan produk sendiri.

Sekarang kondisinya berbalik 180 derajat. Seiring perkembangan zaman, warga setempat telah mengalami perubahan yang signifikan. Gadis dan bujangnya sudah banyak yang merantau  keluar daerah dan menjadi TKI di Malaysia. Di sana mereka kawin dengan berbagai suku bangsa.

Khusus perantau di Malysia, menikah dengan orang luar negeri bukan lagi suatu tabu. Mulai dari bangsa Melayu Malaysia, Bangladesh, Pakistan,  sampai India, dan Nepal.

Mereka sudah pintar memasak. Ilmu yang diperolehnya dari  negeri orang mereka tularkan pada masyarakat di kampungnya. Beberapa di antaranya sudah berani membuka rumah makan. Baik di luar daerah maupun di negerinya sendiri.

Banyak juga yang  buka warung makanan dengan aneka masakan.  Ada roti canai, hamburger, kue-kue tradisional sampai ke aneka  gorengan yang tak kalah enaknya dengan penganan yang dijual di kota. Semuanya buatan tangan mereka sendiri. Mereka juga pintar berdagang barang-barang lain.

Maaf, sedikit melenceng dari topik. Terkait inisiatif  pemerintah untuk mengimpor rektor atau dosen dari luar negeri,  tak ada salahnya kita  berkaca dari ilustrasi di atas. Kehadiran orang lain selalu membawa rahmat bagi lingkungannya. Minimal sebagai perbandingan. Sampai dimana kehebatan kita. Andai ada kekurangannya, bagian mana yang harus diperbaiki. Intinya kita tidak merasa hebat sendiri.

Makanya, para Ibu dan Bapak-bapak Dosen dalam negeri tidak perlu galau.  Masuknya rektor dan dosen inpor bukan merupakan bencana. Dari mereka nantinya kita dapat belajar banyak, dimana titik lemahnya pengelolaan Perguruan Tinggi kita selama ini.  

Rupanya, pemerintah serius dengan ide rektor impor ini. Ditulis oleh news detik.com,  Kementrtian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) M Nasir akan mengakomodasi rencana itu termasuk berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan soal pendanaan

Hal itu diungkapkan Menristekdikti, M Nasir, usai acara Rapat Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Unisbank Semarang.

Kalau boleh saya bersuara, saya mendukung kebijakan ini. Jika tak mau berusaha, kapan kita akan berubah. Lagi pula, di  segi agama  impor dosen bukan sesuatu yang haram. Bagimana menurut Anda?

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun