Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Impor Rektor Sesuatu yang Haram?

4 Agustus 2019   08:34 Diperbarui: 5 Agustus 2019   04:23 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : uinsu.ac.id

Tanpa bermaksud mengecilkan tradisi sekelompok masyarakat tertentu, saya ingin berbagi kisah lain. Lagi-lagi pengalaman puluhan tahun yang lalu.

Saat pertama saya memasuki suatu dusun, penduduknya alergi dan anti berjodoh  dengan pendatang. Menikah dengan suku lain adalah suatu aib. Kalau terlanjur terjadi, pelakunya harus siap menerima tudingan miring. 

Pertama, yang bersangkutan dianggap tidak laku di negerinya sendiri tersebab satu dan lain hal. Ke-dua, barangkali orangtua  si pengantin berkasus dalam masyarakat.

Belum lagi risiko sosial yang harus ditanggung oleh anak-anaknya kelak.  Mereka akan sering dibully. Dikit-dikit, "Eh, dasar. Kamu anak suku 'A'. " Sebaliknya, perkawinan antar keluarga adalah  kebanggaan sanak famili.

Kehidupan mereka sangat sederhana. Sekaya apapun sebuah keluarga, masakan alakadarnya saja. Apabila ada suatu perhelatan yang akan mengundang tamu lain, mereka pakai jasa tukang masak dari luar. Belum banyak yang pandai berdagang. Apalagi berjualan makanan produk sendiri.

Sekarang kondisinya berbalik 180 derajat. Seiring perkembangan zaman, warga setempat telah mengalami perubahan yang signifikan. Gadis dan bujangnya sudah banyak yang merantau  keluar daerah dan menjadi TKI di Malaysia. Di sana mereka kawin dengan berbagai suku bangsa.

Khusus perantau di Malysia, menikah dengan orang luar negeri bukan lagi suatu tabu. Mulai dari bangsa Melayu Malaysia, Bangladesh, Pakistan,  sampai India, dan Nepal.

Mereka sudah pintar memasak. Ilmu yang diperolehnya dari  negeri orang mereka tularkan pada masyarakat di kampungnya. Beberapa di antaranya sudah berani membuka rumah makan. Baik di luar daerah maupun di negerinya sendiri.

Banyak juga yang  buka warung makanan dengan aneka masakan.  Ada roti canai, hamburger, kue-kue tradisional sampai ke aneka  gorengan yang tak kalah enaknya dengan penganan yang dijual di kota. Semuanya buatan tangan mereka sendiri. Mereka juga pintar berdagang barang-barang lain.

Maaf, sedikit melenceng dari topik. Terkait inisiatif  pemerintah untuk mengimpor rektor atau dosen dari luar negeri,  tak ada salahnya kita  berkaca dari ilustrasi di atas. Kehadiran orang lain selalu membawa rahmat bagi lingkungannya. Minimal sebagai perbandingan. Sampai dimana kehebatan kita. Andai ada kekurangannya, bagian mana yang harus diperbaiki. Intinya kita tidak merasa hebat sendiri.

Makanya, para Ibu dan Bapak-bapak Dosen dalam negeri tidak perlu galau.  Masuknya rektor dan dosen inpor bukan merupakan bencana. Dari mereka nantinya kita dapat belajar banyak, dimana titik lemahnya pengelolaan Perguruan Tinggi kita selama ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun