Semasa remaja, saya juga pernah mempraktikkannya. Gawainya, meja peot milik tukang lontong. Lawan charting keponakan suami ibu kos yeng berprofesi sebagai penjual kelapa. Lumayan ganteng, sopan, pintar nyari duit tentunya.
Mula-mula dia ngajak kenalan. Berlanjut curhat terbuka. Ternyata dia cuman lulusan SD.
Takut tergoda, saya langsung kabur. Pasalnya, saya ingin berjodoh dengan orang berpendidikan. Masalah pekerjaan urusan belakangan. Kalau tak dapat sarjana, minimal lulusan SLA. Misi saya ingin mengubah keturunan.
Selain itu, pesan Emak berkelebat di kepala, Â "Kita orang miskin tak punya siapa-siapa, Nak. Kalau mau sekolah, sekolahlah yang benar. Emak tak terima kau pulang membawa perut gendut."
Simpulannya, apapun perangkat perantaranya, telepon pintar atau telepon "dungu", yang namanya kontek-kontekan, chartting-chartting-an, asyiknya luar biasa. Apabila kurang hati-hati, dampaknya pun lebih buruk daripada yang terburuk. Salam dari desa.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H