Setelah tua, Emak sering sedih dan minta maaf. Karena beliau tak sanggup membahagiakan masa kecil saya. Hati saya luluh. Berkali-kali pula saya bilang sama Emak dan adik-adik, bahwa saya tak pernah berkecil hati atas penderitaan yang pernah saya jalani bersama orangtua.
Berlatar inilah Pak Guru SMA tadi mendiskripsikan pernyataannya berbungkus curhat cantik yang menggigit. Mungkin dia khawatir kalau saya ini pribadi yang lupa diri. Orang Kerinci mengaanalogikannya dengan frase "laok lupo tanggok". Â (=ikan lupa tangguk. Atau kacang lupa kulit).
Sayangnya bualan tersebut disampaikannya dengan cara tidak terstruktur tidak sistematis dan tidak masif (tidak TSM). Karena pada zamannya istilah TSM Â belum membumi di Indonesia. Kontestan pemilu masih bersingasana di kolong langit. He ... he ....
 Orang kampung saya bilang manusia tipe ini, "alun mengango, mangecek alah daulu".  (sebelum menganga mulutnya bicara duluan. Artinya, bicara tidak dengan hati, seenak jidat).  Efeknya bagi lawan bicara, cubitannya  sedikit  sakitnya lama.  Salam kompasiana dari desa.
****