Di republik tercinta ini, masalah sampah memang tak pernah tuntas. Di kota maupun di desa. Tengoklah tempat-tempat liburan di pedesaan. Terutama setelah lebaran.
Hari Raya ke lima saya berkunjung ke objek wisata alam Danau Kerinci. Kondisinya memprihatinkan. Di darat sampah, di air sampah. Didominasi oleh limbah non organik bekas air mineral dan plastik pembukus makanan. Tak heran Indonesia didaulat sebagai penghasil sampah plastik nomor dua di dunia. (Beranda Iftek, 28/05/2018).
Riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkapkan sebanyak 24 persen sampah di Indonesia masih tidak terkelola. (CNN Indonesia, 25/04/2018). Artinya, 76% sisanya telah tertangani.
Oke, tidak apa-apa. Kita tunggu janji pemerintah yang katanya tahun 2020 Indonesia bebas sampah.
Sekarang, mari kita jalan-jalan ke luar negeri, sambil mengintip bagaimana warganya memerangi sampah.
- Arab Saudi, MakkahÂ
Julukan Kota Suci yang disematkan bagi kota Makkah mungkin belum sebanding dengan keelokan wajahnya. Tumpukan sampah terlihat di berbagai tempat, khususnya di sentra-sentra kaki lima. Terutama pada sore hari usai para pedagang beraktivitas. Hal ini dapat dimaklumi karena momennya bertepatan dengan musim haji.
Sebelum saya ke Makkah, seorang teman yang telah duluan berhaji mengatakan, kalau sampah di Makkah itu tidak bau. Klaim tersebut adalah hoax dan lebay. Kentut nenek-nenek saja busuknya minta ampun apa lagi limbah yang bernama sampah.
Kendati rambu-rambu imbauan agar membuang sampah pada tempatnya terpampang di banyak tempat, namun para jamaah tidak mematuhinya. Petugas kebersihan bekerja tak kenal lelah tapi belum sebanding dengan limbah yang diproduksi.
Anehnya, warga setempat seakan cuek. Mereka tiduran, berjualan, makan dan minum pun di atas tumpukan sampah. Barangkali individu-individu tersebut pedagang musiman dari luar kota Makkah, yang datang memanfaatkan momen suci ini untuk berjualan.
Herannya, tiada bekas tenda/kamp yang ditinggalkan penghuninya. Mungkin para pewaris limbah tersebut tamu Allah dari daerah sekitar. Atau jamaah ilegal asal negara lain, (fakta 2008).
Kondisi ini tidak membuat pemerintah Makkah gusar. Puluhan ribu ton benda kotor tersebut justru menjadi ladang amal. Sampah-sampah plastik dijual pada perusahaan yang menangani proses daur ulang. Uangnya digelontorkan lagi ke negara-negara dan pihak lain yang mambutuhkan. Info lengkapnya lihat di sini.Â
- Inggris
Di negeri Elizabeth ini, sampah tak bikin repot. Mulai dari pemukiman penduduk, sepanjang jalan, apalagi di tempat-tempat wisata, saya tak menemui sampah berserakan selain lembaran daun dan ranting kecil jatuh dari pohon. Apalagi yang menggunung di bak/area penampungan sementara seperti di kota saya.
Bayangkan berapa luasnya Sungai Thames. Seingat saya, tak selembar pun sampah plastik berapungan. Padahal di bibir sungai yang membelah kota London itu terdapat objek wisata London Eye.Â
Sebuah  roda raksasa setinggi 135 meter. Dan salah satu destinasi wisata terlaris. Ada juga Tower Bridge serta objek lainnya. Setiap hari kawasan ini dipadati pelancong dari seluruh penjuru dunia. Tanah dan airnya tetap bersih dan nyaman dilihat.
Kondisi ini tentu bukan semata karena tingkat sosial dan pendidikan masyarakatnya yang tinggi. Faktor yang paling menentukan adalah kehadiran dan kemampuan negara dalam mengelola sampah.
Petugas kebersihan dari City Council tak pernah alpa dengan rutinitasnya. Sekali seminggu (atau sesuai jadwal) limbah-limbah rumah tangga, pabrik, dan limbah lainnya diangkut menggunakan mobil kebersihan. Selanjutnya dibawa ke pabrik untuk didaur ulang. Sebagian produk akhirnya ada di sini. Gawean mereka dibuat mudah, bongkar muat serba otomatis.Â
- Malaysia
Mei 2017, saya ikut anak dan menantu berkunjung ke beberapa tempat di Malaysia. Di antaranya objek wisata Batu Caves, Selangor. Kira-kira 15 kilometer dari Kuala Lumpur. Posisinya antara perjalanan dari Kuala Lumpur ke Genting.
Di kiri kanan jalan yang kami lewati, hampir tak ditemuai limbah plastik berserakan. Tidak juga tumpukan sampah yang menggunung, menunggu diangkut ke tempat pembuangan akhir.
Sebelumnya kami telah diberitahukan oleh guide sekalisus driver, bahwa di Batu Caves itu terdapat sebuah gua yang terdiri dari batu kapur. Di dalamnya dibangun kuil tempat ibadah umat Hindu.
Semangat tua saya menggelora. Kami meluncur ke sasaran. Masyallah, belum sampai di landasan tangga saya ngeper. Udara tak sedap menusuk hidung. Hendak surut ke belakang, rugi kepalang basah.
Sejumlah monyet ekor panjang bergelayut disana-sini. Mereka sok akrab dengan pengunjung. Baunya busuk kayak tinja manusia. Bercampur aduk dengan aroma sampah, bunga, dan entah wewangian apa lagi.Â
Botol-botol plastik dan kaleng rongsokan minuman, tinja monyet, limbah pembukus makanan dan kulit buah bertebaran. Barangkali bekas pengunjung memberi makan monyet.
Tekad di hati sudah bulat. Alhasil, saya lolos melewati 274 anak tangga tersebut. Walaupun tubuh ini digerogoti lelah.
Di dalam gua, suhunya dingin dan basah. Padahal di luar cuaca cerah. Mungkin tersebab dipicu aroma tak biasa, kaki saya melangkah ragu. Serasa ada kekuatan magis meneteskan embun dari langit-langit gua.. He he.... Dasar nenek jadul bin kolot.
Ratusan turis berwajah melayu dan asing keluar masuk silih berganti. Sebagian besar dari komunitas India yang hendak melakukan ibadah suci.
Untuk mengirit energi, saya menahan diri, tidak menjelajahi sudut-sudut gua. Segala pernak-pernik religi yang ada seperti lukisan dan patung-patung dewa yang menghiasi sekeliling gua, dan kegiatan peribadatan, saya saksikan dari mulut gua saja. Setelah beberapa kali berfoto selfi saya turun. mendahului rombongan.
Yang menarik, untuk bahan baku pabrik daur ulang, Kuala Lumpur justru menampung sampah plastik dari negara-negara maju seperti, Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan, dan Spanyol. Sampah-sampah tersebut ditempatkan di Pulau Indah. Jarak satu jam dari Kuala Lumpur.
Soal kabersihan, keindahan dan kerapian ibu kota negara, Jakarta mengungguli Kuala Lumpur. Begitu juga airportnya. Soekarno-Hatta belum tertandingi oleh Bandara Sepang (kondisi 2017).
Jadi, klaim sebagian masyarakat bahwa luar negeri itu selalu lebih bagus daripada di Indonesia, adalah pandangan keliru. Ancol dan Taman Mini belum kalah eksotis dengan Black Country, Inggris. Candi Borobudur mungkin belum tersaingi oleh Batu Caves. Begitu juga di sektor lain. Hanya ada plus minusnya. Saya bangsa Indonesia. Saya cinta Indonesia. Â
 ****