Berkumpul dengan anak cucu merupakan peristiwa paling dirindukan oleh orangtua yang sudah sepuh seperti saya. Memang, zaman sekarang bertatap muka dengan orang tersayang dapat dilaksanakan dari jarak jauh. Namun, indahnya kebersamaan tatkala bertemu langsung, tak akan terganti oleh alat komonikasi secanggih apapun. Terlebih kalau momen ini terwujud pada saat lebaran.
Saya dan suami merasa beruntung. Semenjak anak-anak bekerja dan menikah, latas menjalani kehidupan di kota berbeda. Tapi, setiap Idul Fitri mereka pulang.
Untuk menciptakan suasana yang lebih spesial, kepulangan mereka selalu saya tunggu dengan menu favorit mereka semasa kecil. Sebelum keduanya ber-otw, saya tawarkan mereka minta dimasakkan apa.
Tak jarang jawabannya berbeda. Misalnya, anak cowok minta dibikin palai (pepes bakar) ikan seluang, si cewek suka gulai ikan danau berkuah santan. Sedangkan si kecil minta dibikin sop. Kedatangan mereka pun relatif tidak sama.
Bagi saya hal ini merupakan kebanggan yang tiada tara. Selagi bahan-bahannya tersedia di lingkungan, usulan mereka pasti terpenuhi. Saya senang melakukannya.
Selama anak cucu berkumpul, kediaman kami menjadi ramai. Dua anak, dua menantu, plus empat cucu berhimpun dalam satu pondok. Berantakan? Itu pasti. He he ... seperti kapal pecah.
Cowok ganteng saya bilang, "Rumah ini dibangun untuk dibuat amburadul. Yang penting kalian pulang." Selama lebaran, kakek yang biasa dipanggil Uut itu tidak membolehkan di rumah terlalu banyak aturan. Agar cucu-cucu bebas bermain. "Syaratnya satu, jangan berantam!" tambah Uut.
Saya menikmatinya dan tak mau merecoki dengan kegiatan apapun. Termasuk menulis di Kompasiana. Bahkan selama bersama anak cucu, menyentuh gadged pun saya jarang.
Kondisi begini menambah rasa syukur saya dengan apa yang saya miliki saat ini. Punya anak-menantu yang baik dan santun, serta empat cucu yang lincah dan pintar.
Anugrah tertinggi yang wajib saya syukuri adalah umur panjang, kesehatan yang prima, sehingga saya dapat menyambut kepulangan anak cucu dengan ceria. Dan menjamu selera mereka dengan masakan jadul andalan keluarga.
Sayangnya keindahan ini hanya berlalu satu minggu. Setelah lebaran mereka pergi, rumah kembali sepi. Tinggal saya dan cowok ganteng berdua menghitung-hitung gigi copot dan memindai rambut yang sudah memutih.
Anehnya, dua hari belakangan saya rasa dikejar-kejar kesalahan. Setiap lebaran menuntut anak-anak mudik, mereka mengabulkannya. Di sisi lain saya sendiri sudah puluhan tahun tidak menunaikannya kepada Emak, sampai akhir hayat beliau Oktober 2008.
Terakhir saya lebaran bersama orangtua di kampung tahun 1983. Tepatnya sebelum punya rumah sendiri.
Meskipun pada kesempatan lain saya sering pulang, nuansanya tentu berbeda dengan hari nan fitri.
Saya malu pada diri sendiri, kepada langit kepada bumi, kepada malaikat Kiraman Katibin. Mungkin saya ini lebih pantas menyandang label ibu dan anak egois.
Apa hendak dikata, semuanya telah berlalu. Sekarang tinggal penyesalan pembalut duka. Sambil bersih-bersih di kamar anak-anak, tanpa terasa air mata tua ini meleleh. Mak ...! Maafkan anakmu, Mak! Aku kangen Emak.
Betul kata tetua, bahagiakanlah orangtuamu selagi beliau masih hidup. Apalah artinya air mata apabila dirinya telah tiada. Kini saya hanya mampu merajut untaian doa. Semoga Emak tenang di alam sana.
****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI