Mengagumi seseorang adalah salah satu hak yang paling pribadi. Perasaan itu lahir dari suara batin setelah adanya daya tarik sesorang kepada sosok yang dikaguminya. Di matanya, individu tersebut memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain bahkan oleh dirinya sendiri.
Rasa kagum tidak hanya terbatas pada lawan jenis yang memungkinkan berujung pada rasa cinta dan saling mencintai yang bernuansa asmara. Seseorang bisa saja mengagumi teman sejenis, tokoh politik, pendakwah, artis, teman di medsos, dan lain sebagainya. Walaupun dia belum pernah bertatap muka. Barangkali dari sinilah lahirnya istilah sahabat idola, tokoh idola, ustad idola dan idola-idola lainnya.
Biasanya naluri ini bersifat sementara. Ketika yang bersangkutan menyaksikan idolanya bersikap tak sesuai dengan harapan, tinggkah lakunya lebih menonjol sisi buruk ketimbang baiknya, suara hati tersebut akan sirna.Â
Saat-saat menjelang reformasi, saya pengagum berat Amien Rais. Menurut saya selain beliau, tiada pemimpin yang bisa diharapkan untuk membebaskan negara dan bangsa ini dari cengkraman Orde Baru.Â
Sikapnya yang tegas, berwibawa, dan pemberani, didukung pula oleh gerakan mahasiswa menambah keyakinan saya. Perjuangan mereformasi pemerintahan yang ketika itu boleh dikatakan sudah basi pasti tercapai.Â
Sering saya dicibir oleh kerabat dan teman kerja. Katanya  Kekaguman saya salah alamat. Amien Rais itu pribadi yang ambisius dan bla bla. Â
Saya tak bisa berkutik. Sebab semasa itu mereka umumnya pendukung Golkar yang masih fanatik dengan Pak Harto.
Sungguh pun begitu, kekaguman saya kepada sang idola tak tergoyahkan. Bagi saya Amien Rais adalah tokoh paling jujur, agamais, dan bersih dari korupsi. Setiap saat saya berdoa semoga perjuangannya membuahkan hasil.  Dan suatu saat beliaulah yang menjadi presiden pengganti  Pak Harto.
Tahu-tahu, setelah reformasi yang menjadi presiden malah KH Abdurrahman Wahid. Tetapi saya tidak terlalu kecewa. Sebab sang tokoh idola menjadi ketua MPR. Bukankah kedudukan ketua MPR lebih tinggi daripada presiden. Buktinya, dia yang mengangkat Gusdur, dia pula yang melengserkannya.
Harapan saya berlanjut pada pilpres 2004, yang saat itu diikuti oleh 5 paslon. Amien Rais ikut berkompetisi berpasangan dengan Siswono Yudo Husodo. Putaran pertama mereka langsung keos.
Saya kecewa berat, dan menganggap sebagian besar rakyat Indonesia ini bodoh. Karena tidak memilih  Amien Rais. Capres  yang cerdas dan paling pintar versi saya.
Pilpres berlanjut 2 putaran, diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan rivalnya Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi.
Pemilihan putaran ke dua saya ke TPS. Saking kesalnya, capres pujaan tidak lolos ke putran ke 2, sampai di bilik suara foto kedua paslon saya bolongi sebesar telur puyuh.
Betapa gilanya saya. Dasar emak-emak kampung, buta politik. Saat itu usia belum terlalu tua, tetapi muda terlewati. Namun antusiasme masih menggelora, lugu pula. Bila teringat peristiwa tersebut saya malu pada diri sendiri.
Persaingan dimenangkan oleh pasangan Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Tetapi, sepatah kata pun saya tak pernah mengeluarkan kata tak suka kepada Pak SBY. Teman dan kerabat yang beda pilihan pun tak pernah tahu apa yang ada di benak saya tentang presiden terpilih.
Kegalauan saya hanya beberapa saat. Akhirnya hati ini menerima kekalahan sang jagoan dengan legowo. (sok ... berpolitik. Memangnya nenek ini siapa, he he ...). Meskipun saya berguling-gulung sambil makan tanah, Pak Amien Rais tak akan datang menghibur saya.
Periode kedua pemerintahannya, SBY bergandengan dengan Boediono. Pak Amien Rais mulai nyinyiran parah. Sering bermanuver, melancarkan kritik yang kurang enak didengar telinga. Perlahan kekaguman saya padanya tergerus.
Kelakuannya semakin menjadi-jadi selama pemerintahan Pak Jokowi-JK. Tepatnya semenjak dia bergabung dengan kelompok oposisi. Akhir tahun 2014 nama yang sempat menggelegar pada pertengahan tahun 1998 ini resmi saya copot dari daftar pemimpin yang paling saya kagumi.
Sikap ini lahir dari lubuk hati saya yang paling dalam. Bukan tersebab saya dan beliau beda pilihan capres. Tetapi saya tak suka dengan tindakan dan manuver politiknya. Katanya mengkritik agar pemerintahan tak salah arah. Tetapi kontradiktif, cendrung membuat kami rakyat kecil ini khawatir akan terjadinya kekacauan di negeri tercinta ini.
Mohon maaf pada Pak Amien Rais dan pendukungnya. Saya tidak membenci beliau. Hanya tidak suka tindak tanduknya dalam mengkritik pemerintah. Bagaimanapun seorang Amien Rais adalah putra terbaik bangsa. Berkat kecerdikannya berpolitik, Indonesia  berhasil mereformasi total sistim pemerintahan menjadi lebih baik. Demokrasi maju pesat. Sampai-sampai nenek tua seperti saya juga bebas menuangkan uneg-uneg melalui tulisan di kompasiana.
Coba zaman Orba! Mungkin saya tak dikasih uang pensiun. Atau minimal dipenjara barang sebulan dua bulan sebelum akhirnya bertekuk lutut, mengakui bahwa tidak lagi mengaupdate tulisan yang bernada kritik di kompasiana.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H