Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Begini Kelakuan Orangtua dan Siswa SD 124/III Cupak Era 70 dan 80-an

13 Februari 2019   21:10 Diperbarui: 14 Februari 2019   12:31 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum sepuluh tahun saya meninggalkan desa Cupak, kondisinya banyak berubah. Gedung SD 124/III sudah bagus. Di sini dahulu saya mengabdi  selama 37 tahun.  Rumah penduduk  banyak yang cantik.  Wajah-wajah mungil dan lucu yang pernah menjadi bagian dari keseharian saya, kini  tak dijumpai lagi.

Yang tidak berubah keramahtamahan masyarakatnya.  Ini adalah ciri khas warga setempat yang belum saya dapati dari kelompok sosial mana pun. Tua muda, lelaki,  perempuan, apakah mereka mantan murid saya atau tidak, pernah dijewer atau tidak, asal ketemu mereka pasti menyapa. Kecuali generasi yang tidak mengetahui  bahwa saya pernah mengajar di sana. Jujur, ini bukan lebay lho.

Kades Cupak, memberikan kata sambutan pada acara Pengajian BKMT Kec, Danau Kerinci di Masjid Istiqamah Cupak 09/02/2019. Dokpri
Kades Cupak, memberikan kata sambutan pada acara Pengajian BKMT Kec, Danau Kerinci di Masjid Istiqamah Cupak 09/02/2019. Dokpri
Hari Minggu tanggal 10/02/19 yang lalu, saya mengahadiri pengajian rutin Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT) Tingkat Kecamatan, di Masjid Istiqamah Desa Cupak. Sebelum acara dimulai, tiba-tiba seorang ibu muda bersimpuh di hadapan saya. "Ibuk kenal saya?" tanya dia sambil mengulurkan tangan. "Tatap wajah saya, Bu! Siapa saya Ayo!" tambahnya.

Saya bingung sambil mengernyitkan kening. "Maaf, ananda. Ibu lupa." Sembari memperhatikan wajahnya, saya berusaha menautkan ingatan yang sudah terserak puluhan tahun yang lalu. "Kamu Nimasyani, kan?"

Dia tertawa lepas."Benar, Bu. Ibu tahu dari mana?"

"Dari senyum dan cara ngomongmu."

Rupanya, selama ini wanita yang biasa disapa Nimas ini dan suaminya menjadi TKI di Malaysia. Meskipun kelihatannya masih  muda, kini  dia punya 5 anak 3 cucu. Cantik, semampai, dan agak putih. Demikian kesan yang saya peroleh darinya.

Nimasyani (kiri) dan saya (kanan). Dokpri
Nimasyani (kiri) dan saya (kanan). Dokpri
Dahulu, bodinya kecil dan hitam manis. Setiap hari ke sekolah diantar oleh neneknya.  Terus si nenek menunggu di luar kelas sampai habis jam pelajaran. Setetes pun air mata cucunya ini keluar gara-gara diganggu temannya adalah tabu besar baginya. Mungkin tersebab terlalu sayang itulah sang nenek merenggutnya dari bangku kelas V SD untuk dinikahkan dengan pemuda pilihannya. Dengan harapan  biar cepat punya keturunan. Sebab, Nimas ini cucu tunggal ditinggal mati ibunya sejak usia 2 tahun.

Beberapa menit berselang, mantan murid lainnya menghampiri saya. Namanya Hariah.  Nenek 8 cucu  ini tidak begitu asing bagi saya. Sebab, saya dan dia sering bertemu di tempat umum. Karena dia berdomisili di tanah air saja. Bawaannya tidak berubah dari pertama saya mengenalnya awal tahun 1977. Kala itu dia kelas V SD. Hobinya ngartis. Setiap jam pelajaran kesenian dia minta nyanyi di depan kelas. Harus giliran pertama. Goyangannya asyik bikin ngikik.  Rambutnya lurus sedikit disasak.  Tidak setinggi sasak Dewi motik, he he .... Lipstiknya merah selayang. Maklum, zaman itu siswa sekolah  belum pakai seragam.  Hariah juga menikah sebelum lulus SD.

Saya dan Hariah (kanan). Dokpri
Saya dan Hariah (kanan). Dokpri
Lucunya, murid-murid setingkat di atas Hariah ini, jika ditugaskan membuat barang kerajinan, misalnya  anyaman bakul, sendok  dari tempurung kelapa, atau sapu lidi,  untuk praktik  mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Keterampilan (KTK),  ada siswa yang membawa garam, sabun, dan gula ke sekolah. He he .... Apa iya, mereka bisa membuat garam, sabun, dan gula.

Di pojok tak jauh di depan saya ada Ida Yusnita.  Tidak terlalu banyak kenangan bersama sosok cantik yang satu ini. Sebab dia keburu pindah ikut  orangtuanya ke Jambi. Waktu ke kantor Pemda Kerinci untuk urusan gaji pensiun pada tahun 2014, saya terkejut.  Wanita biasa dipanggil  Yus ini bekerja di sana. Saat itulah saya tahu bahwa setelah menyelesaikan S2-nya di Universitas Jambi, dia kembali ke kampung, menikah, dan punya anak satu. Segala urusan saya dia bantu sampai  tuntas. Saya bangga tak terkira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun