Belum sepuluh tahun saya meninggalkan desa Cupak, kondisinya banyak berubah. Gedung SD 124/III sudah bagus. Di sini dahulu saya mengabdi  selama 37 tahun.  Rumah penduduk  banyak yang cantik.  Wajah-wajah mungil dan lucu yang pernah menjadi bagian dari keseharian saya, kini  tak dijumpai lagi.
Yang tidak berubah keramahtamahan masyarakatnya.  Ini adalah ciri khas warga setempat yang belum saya dapati dari kelompok sosial mana pun. Tua muda, lelaki,  perempuan, apakah mereka mantan murid saya atau tidak, pernah dijewer atau tidak, asal ketemu mereka pasti menyapa. Kecuali generasi yang tidak mengetahui  bahwa saya pernah mengajar di sana. Jujur, ini bukan lebay lho.
Saya bingung sambil mengernyitkan kening. "Maaf, ananda. Ibu lupa." Sembari memperhatikan wajahnya, saya berusaha menautkan ingatan yang sudah terserak puluhan tahun yang lalu. "Kamu Nimasyani, kan?"
Dia tertawa lepas."Benar, Bu. Ibu tahu dari mana?"
"Dari senyum dan cara ngomongmu."
Rupanya, selama ini wanita yang biasa disapa Nimas ini dan suaminya menjadi TKI di Malaysia. Meskipun kelihatannya masih  muda, kini  dia punya 5 anak 3 cucu. Cantik, semampai, dan agak putih. Demikian kesan yang saya peroleh darinya.
Beberapa menit berselang, mantan murid lainnya menghampiri saya. Namanya Hariah.  Nenek 8 cucu  ini tidak begitu asing bagi saya. Sebab, saya dan dia sering bertemu di tempat umum. Karena dia berdomisili di tanah air saja. Bawaannya tidak berubah dari pertama saya mengenalnya awal tahun 1977. Kala itu dia kelas V SD. Hobinya ngartis. Setiap jam pelajaran kesenian dia minta nyanyi di depan kelas. Harus giliran pertama. Goyangannya asyik bikin ngikik.  Rambutnya lurus sedikit disasak.  Tidak setinggi sasak Dewi motik, he he .... Lipstiknya merah selayang. Maklum, zaman itu siswa sekolah  belum pakai seragam.  Hariah juga menikah sebelum lulus SD.
Di pojok tak jauh di depan saya ada Ida Yusnita.  Tidak terlalu banyak kenangan bersama sosok cantik yang satu ini. Sebab dia keburu pindah ikut  orangtuanya ke Jambi. Waktu ke kantor Pemda Kerinci untuk urusan gaji pensiun pada tahun 2014, saya terkejut.  Wanita biasa dipanggil  Yus ini bekerja di sana. Saat itulah saya tahu bahwa setelah menyelesaikan S2-nya di Universitas Jambi, dia kembali ke kampung, menikah, dan punya anak satu. Segala urusan saya dia bantu sampai  tuntas. Saya bangga tak terkira.
Usai acara, sebelum keluar dari Masjid  ketemu pula  Siti Nurjihan,  siswa terpintar di kelas pada awal delapan puluhan. Kalau menulis tulisannya lurus dan rapi. Saya penasaran bagaimana bisa murid kelas tiga tulisannya lurus dan rapi mengalahi kami gurunya. Rupanya  Siti punya kiat khusus. Sebelum menulis, dia memosisikan rol agak sedikit di atas garis permanen buku tulis. Kemudian rol itu ditahannya pakai tangan kiri, sementara tangan kanannya  meliuk-liuk mengatur gerakan pensil. Sisi atas penggaris berfungsi sebagai batas ukuran berdirinya huruf yang dia tulis.
Sangat disayangkan, gadis kuning langsat ini harus putus sekolah dikala kelas dua SMP. Lagi-lagi alasan menikah. Meski akhirnya dia berhasil meraih gelar sarjana S1. Wisudanya kejar-kejaran sama putri pertamanya si Neng. Saya salut semangatnya.
Sampai di pinggir jalan raya, saya telah ditunggu oleh Nurhuda. Mantan siswa saya paling dimanja neneknya. Melebihi Nimasyani. Tidak hanya diantar ke sekolah setiap hari dan dikawal sampai jam pulang. Tiba di rumah tidak boleh keluar lagi.
Giliran pembagian kelompok belajar, anak-anak lain menolak bergabung dengannya. Â "Bagaimana mau masuk kelompok, Bu. Â Pulang sekolah dia dikurung dalam kamar," kata salah satu teman sekelasnya.
Nurhuda tidak membantah pernyataan temannya itu. Malah mengakui, kalau dia mau keluar rumah harus melompat dari jendela.
Semasa kelas III SD Nurhuda dan satu adik cowoknya ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya merantau dan bekerja di Malaysia. Dia juga meried pada usia yang relatif muda. Yaitu kelas II SMA. Â Kini isteri pemilik toko onderdil motor ini sudah punya satu cucu.
Alhamdulillah, kehidupan lima mantan murid yang saya kisahkan di atas, lumayan baik untuk ukuran desa. Rupanya menikah muda tidak selalu jelek. Mereka akan matang dengan sendirinya  sejalan dengan bertambahnya usia dan kedewasaannya berpikir. Namun harus diakui juga peran serta orangtua sangat dibutuhkan untuk memberikan bimbingan ke arah yang lebih baik.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H