Usai acara, sebelum keluar dari Masjid  ketemu pula  Siti Nurjihan,  siswa terpintar di kelas pada awal delapan puluhan. Kalau menulis tulisannya lurus dan rapi. Saya penasaran bagaimana bisa murid kelas tiga tulisannya lurus dan rapi mengalahi kami gurunya. Rupanya  Siti punya kiat khusus. Sebelum menulis, dia memosisikan rol agak sedikit di atas garis permanen buku tulis. Kemudian rol itu ditahannya pakai tangan kiri, sementara tangan kanannya  meliuk-liuk mengatur gerakan pensil. Sisi atas penggaris berfungsi sebagai batas ukuran berdirinya huruf yang dia tulis.
Sangat disayangkan, gadis kuning langsat ini harus putus sekolah dikala kelas dua SMP. Lagi-lagi alasan menikah. Meski akhirnya dia berhasil meraih gelar sarjana S1. Wisudanya kejar-kejaran sama putri pertamanya si Neng. Saya salut semangatnya.
Sampai di pinggir jalan raya, saya telah ditunggu oleh Nurhuda. Mantan siswa saya paling dimanja neneknya. Melebihi Nimasyani. Tidak hanya diantar ke sekolah setiap hari dan dikawal sampai jam pulang. Tiba di rumah tidak boleh keluar lagi.
Giliran pembagian kelompok belajar, anak-anak lain menolak bergabung dengannya. Â "Bagaimana mau masuk kelompok, Bu. Â Pulang sekolah dia dikurung dalam kamar," kata salah satu teman sekelasnya.
Nurhuda tidak membantah pernyataan temannya itu. Malah mengakui, kalau dia mau keluar rumah harus melompat dari jendela.
Semasa kelas III SD Nurhuda dan satu adik cowoknya ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya merantau dan bekerja di Malaysia. Dia juga meried pada usia yang relatif muda. Yaitu kelas II SMA. Â Kini isteri pemilik toko onderdil motor ini sudah punya satu cucu.
Alhamdulillah, kehidupan lima mantan murid yang saya kisahkan di atas, lumayan baik untuk ukuran desa. Rupanya menikah muda tidak selalu jelek. Mereka akan matang dengan sendirinya  sejalan dengan bertambahnya usia dan kedewasaannya berpikir. Namun harus diakui juga peran serta orangtua sangat dibutuhkan untuk memberikan bimbingan ke arah yang lebih baik.
****