Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota Jakarta di Mata Nenek "Ndeso"

19 Desember 2018   10:35 Diperbarui: 20 Desember 2018   08:28 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alpokat Milik Tetangga: Dokumen pribadi

Usai menghadiri kompasianival 2018,  empat  hari berturut-turut saya ikut anak menantu  melanglang buana di ibu kota.  Sampai di Jambi bawaannya tidur mulai pukul delapan pagi sampai jam empat sore.  Bangun hanya waktu shalat dan makan. Kondisi begini berlangsung 2 kali 24 jam. Barangkali  ini efek  dari kelelahan. Padahal, ke mana-mana naik gocar.

Dasar mata orang udik. Mungkin ia tak  kuat menanggung beban memandang sesuatu melebihi kapasitas. 

Petani Membajak Sawah. Dokumen pribadi.
Petani Membajak Sawah. Dokumen pribadi.
Petani Mengeringkan Hasil Panen. Dokumen Pribadi
Petani Mengeringkan Hasil Panen. Dokumen Pribadi
Lazimnya netra renta ini cuma familiar dengan bukit dan gunung hijau, pohon nan berbuah lebat, petani yang membajak sawah dan mengolah hasil panen, serta air danau beriak tenang.

Alpokat Milik Tetangga: Dokumen pribadi
Alpokat Milik Tetangga: Dokumen pribadi
Apabila hari mulai petang, sapi dan kerbau pulang ke kandang. Begitulah lingkungan kediaman saya dalam kesehariannya.

Sapi Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Sapi Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Kerbau Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Kerbau Pulang ke Kandang. Dokumen pribadi.
Ternyata Ibu kota RI ini aman-aman saja.  Wajahnya jauh lebih rupawan daripada sebelum-sebelumnya. Gedung-gedung  yang menjulang tinggi, pepohon nan hijau di kiri kanan jalan  memberikan kesan artistik bagi setiap mata yang memandang.  Pendek kata,  kota metropolitan ini memang cantik.  Mengalahi Kuala lumpur yang gersang kerontang.

Kota Kuala Lumpur, Kawasan Bukit Bintang (2017). Dokumen pribadi.
Kota Kuala Lumpur, Kawasan Bukit Bintang (2017). Dokumen pribadi.
Belum lagi keelokan Bandara Internasional Sukarno Hatta yang belum tersaingi  oleh bandara yang pernah saya singgahi. Seperti,  Istambul  Ataturk dan Birmingham Airport Inggris (2015),  serta  Internasional Kuala Lumpur Airport (2017). Mulai  dari kebersihan dan penataan ruang, toilet,  sampai ke fasilitas pendukung dan dekorasinya.

Sebuah Taman Dekorasi di Salah Satu Terminal Keberangkatan Luar Negeri Bandara Internasional Sukarno Hatta. Dokumen pribadi. (2017)
Sebuah Taman Dekorasi di Salah Satu Terminal Keberangkatan Luar Negeri Bandara Internasional Sukarno Hatta. Dokumen pribadi. (2017)
Sebagai wujud rasa memiliki, saya bangga terhadap kota Jakarta. Tetapi, kerena  terlanjur menua di alam pedesaan, saya berpikir kota metropolitan ini hanya pantas didiami  orang-orang berduit, atau untuk tempat menghabiskan duit. Apa-apa-duit. Selangkah berjalan duit, lewat tol duit, anak-anak bermain pakai  duit, mahalnya selangit.

Dokumen pribadi.
Dokumen pribadi.
Ketika menemani cucu main di Kidzania dalam sebuah mall, tidak hanya si kecilnya yang  bayar duit. Pendampingnya pun wajib punya tiket. Kalau tak salah ingat, Rp 135.000 per orang. Untuk empat jiwa (anak, menantu, nenek, dan cucu) total Rp 540.000. Belum lagi belanja makan di restoran  area tersebut yang harganya serba Mahal.

Bagi orangtuanya berdompet tebal, uang sebanyak itu hanya recehan kecil.

Saya sedih membayangkan anak-anak yang barasal dari keluarga tak punya. Seumur hidup belum tentu satu kali mereka dapat nenginjakkan kakinya di sana. Teringat semasa saya kecil dahulu.  Ngiler melihat boneka anak orang kaya.  Dipegang sedikit  dimarahi emaknya.

Kembali ke tarif Kidzania. Tiga tiket diberikan sedikit diskon. Sayangnya saya lupa mencatat besarnya berapa. Satu lainnya tarif reguler. Saya mengapresiasi diskon tersebut  sebagai basa basi dan pemanis, supaya pengunjung ketagihan datang lagi.

Sampai di dalam, ada pula permainan tertentu berbayar tambahan. Salah satunya, membuat pasport mainan  yang dibandrol angka Rp 85.000.

Anak-anak sedang Menikmati Peran sebagai Wartawan di Kidzania. Dokumen pribadi. .
Anak-anak sedang Menikmati Peran sebagai Wartawan di Kidzania. Dokumen pribadi. .
Celakanya, untuk masuk ke pos-pos permainan,  harus antre. Tunggu punya tunggu, baru menyelesaikan 4 permainan, waktunya habis. Pengunjung  yang masuk pada sesi  bersangkutan diperintahkan keluar. Petugas akan mengusir paksa  jika aturan tersebut diabaikan. "Mak ... kejamnya engkau hai orang kaya Jakarta." 

 Hati saya berbisik ngaur, "Salah sendiri bermental  konsumtif. Kenapa bukan kita yang menyediakan layanan. Biar dapat uang  banyak dan jadi melioner. He he ... Bukan menghamburkan duit menambah kayanya kaum kapitalis.  Atau main rumah-rumahan beratap daun pisang saja  kayak zaman  saya 60 tahun lalu. Nyalakan api menggunakan kayu bakar, pasang tungku dari batu, masak-masakan pakai tempurung  kelapa, tanah dan pasir sebagai berasnya. Main suntik-suntikan, sekolah-sekolahan dan aneka mainan lainnya juga bisa."

Ya, sudah. Nenek Ndeso seperti saya  cocoknya tinggal di kampung saja. Zaman sekarang mau beli-beli  semua ada. Toko-toko berseliweran di  setiap sudut  desa. Mulai toko pakaian, sampai ke bahan makanan. Yang penting punya  duit, infrastruktur bagus, internet standby 24 jam.

Kediaman saya hanya 14 kilometer dari ibukota Kabupaten. Tetapi saya lebih senang  belanja di desa. Harganya sama  bahkan ada yang lebih murah dibandingkan di kota. Ini dapat dimaklumi,  karena barang diantar langsung ke alamat oleh distributor. Pedagang pengecer tidak memikirkan kontrakan karena mereka berjualan di ruko sendiri. 

Salah satu Toko Grosir di Desa Simpang Empat Tanjung Tanah. Dokumen pribadi.
Salah satu Toko Grosir di Desa Simpang Empat Tanjung Tanah. Dokumen pribadi.
Itulah kesan saya terhadap kota Jakarta, yang tak terlupakan sepanjang masa.  Selamat tinggal Jakarta.  Biarkan aku memilikimu. Tanpa kehangatan dekapan tubuhmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun