Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Begini Gilanya Sopir Zaman Dahulu

1 Desember 2018   23:02 Diperbarui: 7 Desember 2018   11:01 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Kiriman Uyun Koto

Sopir adalah profesi mulia yang berperan penting dalam dunia perhubungan. Terutama untuk kelancaran arus keluar masuknya barang kebutuhan hidup. Sehari saja semua sopir mogok, kegiatan ekonomi  suatu negara bisa  lumpuh.

Selintas terlihat pekerjaan ini enak dan seperti orang kaya. Terutama ketika nyetir mobil mewah berplat hitam. Orang lain tak pernah tahu apakah kendaraan itu milik pribadinya atau tidak.

Namun, siapa menyangka, ajal mereka berada di detik kekhilafan. Baik berasal dari dalam, maupun di luar   pribadinya sendiri.  Sang pengemudi bisa saja mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya setelah beberapa detik dia menginjak rem, menekan gas, atau diserang kantuk mendadak.

Sehingga dirinya hilang kendali lalu terjun bebas ke jurang.  Boleh jadi lagi enjoy bersiul-siul sembari menikmati musik, tiba-tiba ditumbur lawan dari depan atau belakang. Ini adalah risiko sebuah pekerjaan.

Apapun jenis pekerjaan yang dilakoni, tak pernah lepas dari risiko. Hanya setiap bidang punya kerentanan yang berbeda. 

Sebuah situs pencari kerja di wilayah Benua Amerika  bagian Utara, mengumumkan bahwa, pengemudi, adalah profesi berpotensi teratas yang paling berbahaya. Menyusul petani dan pekarja konstruksi.  Namun ketiganya memberikan dampak positif dalam kehidupan sosial ekonomi keluarganya. (m.mediaindonesia.com).

Berbicara masalah sosial ekonomi seorang sopir, tak terlepas dari kesejahteraan keluarga yang dinafkahinya. 

Di Negara Indonesia, rata-rata kesejahteraan semua sopir dalam kontek keuangan beda-beda tipis. Kondisi ini berlaku dari dahulu sampai sekarang. 

Kecuali, sopir truk  pengangkut pertambangan besar seperti  PT  Freeport, yang sanggup membayar pengemudi truk 20 juta perbulan. Belum termasuk tunjangan lainnya. Mulai kesehatan,sampai pangan dan sandang.  

Persyaratannya harus punya Surat Izin Mengemudi Perusahaan (Simper),  dan melalui  pendidikan di sana yang butuh duit tidak sedikit. Risikonya,  mungkin adanya malfungsi dari alat tambang,  kedaan jalan yang terjal, nyawa bisa melayang. 

Belum lagi bahaya polusi banyak penyakit yang menghampiri, dan berpisah dengan keluarga bagi yang melakukan kontrak lama (bombastis.com).

Saya pernah ngobrol dengan seorang mantan sopir truk yang berpengalaman puluhan tahun. Saya tanyakan bagaimana suka duka  seorang sopir ketika sedang beroperasi di jalanan.

Sukanya, sopir truk bisa agak santai. Tidak terikat kepada penumpang, mau istrahat lama, mandi, tiduran sejenak di warung atau di atas mobil, sampai ke pijit plus-plus di tempat khusus.  Makan mewah bayar sendiri,  tapi uang khusus jatah dari bos.

"Lain dengan sopir bus atau travel.  Terlambat berangkat  penumpang  gelisah. Soal selera, sama-sama spesial. Tetapi sopir bus dan travel dikasih gratis oleh pemilik rumah makan. Sebagai bonus karena  membawa penumpang belanja makan di warungnya. Tak salah, mereka terkesan memberikan pelayanan prima kepada sopir bus dan travel, dibandingkan kami sopir truk."

"Dukanya?"

"Tantangan paling berat adalah galau berpisah dengan keluarga. Terutama sopir antar provinsi antar pulau," pria berumur itu tersenyum. 

"Harus kuat menahan godaan. Meskipun dahulu malaikat penggoda tidak secanggih sekarang yang bisa janjian  via HP. Problem ini mungkin tidak dialami oleh pengemudi yang berangkat pagi pulang petang."

Malu pada pendengar sebelah, saya segera memotong pembicaraan, "Hal lain?"

"Berhadapan dengan preman terhormat dan preman nekad"

"Maksudnya?"

"Preman terhormat itu makhluk berseragam yang digaji negara. Tetapi masih mengemis minta uang rokok. Kalau tidak dikasih dia marah-marah, sampai ngancam dan menahan dokumen."

"Apa petugas dahulu juga bergaya  preman?"

"Malah lebih parah. Main sepak, terjang, dan tampar itu hal lumrah. Rakyat jelata sekelas sopir tiada yang berani melawan. Beda dengan sekarang.  Polisi dan rakyat saling merangkul. Meskipun  masih ada oknum yang nakal jumlahnya tidak banyak dan tak sekejam polisi dahulu."

"Terus, preman nekat?"

"Pribadi atau kelompok penjahat memeras dengan kekerasan, merampok terang-terangan di jalanan sepi. Sasaran empuknya, truk ekspedisi mengangkut benda yang mudah dijual."

Misalnya, barang elektronik atau bahan makanan. Minta diturunkan secara paksa.  Kalau sopir menolak, nyawa taruhannya. Senjata tajam melingkar di leher.  Akhir-akhir ini  tidak sedikit para  pereman ini beraksi  pakai senjata api.

"Era saya dahulu, ada titik-titik tertentu yang rawan penjahat. Mereka tidak takut kepada siapa pun. Seberapa banyak penumpang  dalam bus dia tetap nekad menggerayagi bagasi. Dahulu bagasinya di atas tenda.  Kelompok ini istilahnya bajing loncat. Entah bagaimana cara mereka beroperasi. Tahu-tahu bagasi  sudah porak poranda dan banyak bawaan penumpang yang hilang," kenang pria gaek itu.

Menurut saya, sopir sekarang  jauh lebih enak daripada dahulu. Mobilnya bagus-bagus. Penumpang pun nyaman. Tahun enam puluhan, jika kami sekeluarga bepergian, kalau tidak jalan kaki  naik mobil barang. 

Orang kampung menyebutnya oto prah.  Bus belum ada.  Di belakang sopir tersedia sebuah bangku panjang khusus untuk penumpang. 

Apabila sudah penuh, orang yang mencegat di jalan kebagiannya duduk di bak belakang membaur dengan barang. Itu pun kalau baknya tidak full. Prah mengangkut barang toko, umumnya tak ada ruang baknya  yang terluang.

Sungguh tersiksa. Jalan belum tersentuh aspal. Musim panas penuh debu, dikala hujan beceknya minta ampun. Sering mobil terperosok masuk lubang berhari-hari tak bisa keluar.

Terkait pengalaman saya naik mobil zaman dahulu, ada dua hal yang tak terlupakan.

Pertama,  beberapa kali mobil yang kami tumpangi bocor di tengah hutan.  Kernetnya hilir mudik mengalungkan ban dalam di lehernya,  mencari pohon karet untuk diambil getahnya sebagai lem penambal ban.

Ke dua,  Sebagian besar sopirnya kejam terhadap kernet. Saat akan melewati jalan berlubang yang digenangi air, sang karnet diminta turun untuk manjajaki bagian jalan mana kira-kira yang bisa dilewati. 

Tak peduli momennya di tengah hutan pada malam hari yang hanya disoroti lampu mobil, disertai hujan dan kinyauan petir,  titah sopir wajib dilaksanakan.  

Andai salah menganalisa instuksi, sekalian hewan di laut dan gunung  ikut memaki. Yang dicerca pasrah  tak berdaya, seperti batu dipukul palu.

Sekarang nyaris tak ditemui lagi pengemudi sesadis itu.Terhadap penumpang pun mereka sangat santun. Mungkin karena rata-rata mereka berpendidikan yang cukup, didukung  sarana dan prasarana yang memadai. 

Umpamanya jalan bagus, mobil memenuhi standar  layak beroperasi dan lain sebagainya.  Namun, risiko tetap mengintai kapan dan di mana saja.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun