Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Apakah Saya Pengidap "Hoarding"?

14 November 2018   21:27 Diperbarui: 15 November 2018   13:15 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seterika arang di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi

Saya sulit berpisah dengan benda yang pernah saya miliki dalam waktu yang relatif lama. Padahal barang tersebut sudah seharusnya dibuang tersebab tidak layak pakai. Saya khawatir, jangan-jangan saya penderita hoarding. Yaitu, penyakit kejiwaan buat penimbun sampah. Pelakunya disebut hoarder. (kaskus.co.id).

Yang saya kumpulkan tidak semua jenis sampah. Melainkan  dokumen surat-menyurat, (termasuk arsip yang menyangkut keuangan semasa saya memimpin suatu sekolah 8 tahun lalu),  buku-buku, pakaian, barang elektronik, dan barang tua lainnya seperti mesin jahit.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
 Jumlahnya pun tidak banyak. Untuk buku, sebagian sudah saya sumbangkan pada taman bacaan. Begitu  juga dengan pakaian, dibagi-bagikan pada keluarga dari kampung yang kebetulan datang berkunjung.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Ada dua alasan saya enggan membuang benda-benda yang sudah berstatus limbah tersebut:

Pertama,  jika suatu saat diperlukan, barang tersebut standby di tempat. Saking lamanya disimpan atau ditaruh di tepat yang tidak biasa, saya sering lupa. Saat butuh, dicari-cari, bongkar sana cari sini tidak ada. Endingnya beli baru. Di lain kesempatan, tanpa sengaja  ditemui.

Ke dua, ada kepuasan tersendiri karena menganggapnya sebagai koleksi. Semasa remaja, saya punya banyak Sahabat Pena. Dalam kondisi prangko masih menempel pada sampul, surat-suratnya saya simpan. Dilengkapi pula dengan surat cinta dari mantan pacar.

Setelah menikah dan punya rumah sendiri, dokumen tersebut saya tarok di loteng. Tiga puluh tahun kemudian saya baru ingat. Ternyata semuanya sudah rusak dimakan rayap. Sampai sekarang saya sangat menyesal karena tidak menaruhnya di tempat yang wajar.  Coba kalau masih terpelihara, perangkonya dapat menambah koleksi. Nominalnya antara 10-100 rupiah. Tentu saja  zaman sekarang  dokumen begitu tidak dapat dibeli.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Semenjak itu setiap akan membumihanguskan barang rongsokan, saya teringat riwayat  prangko yang pernah tersia-siakan, kini tak mungkin saya miliki lagi. Niat untuk melemparkannya ke tong sampah batal.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Kegemaran saya mengumpul barang bekas (khusus elektonik) semakin menjadi-jadi setelah berkunjung ke beberapa museum di Inggris. Di Villa Aston, ada sepatu tua Golden Era Boots th 1900 dan Gabby Agbonlahor's Boots, berbungkus rapi menggunakan plastic. Keduanya digantung di dinding. Di Black Country Living Museum, ada mesin cuci dan pengering pakaian terbuat dari besi, dioperasikan secara manual, seterika arang, dan tempayan tempat air.

Mesin cuci/pengering di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi.
Mesin cuci/pengering di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi.
Di Walsall Letter ada mesin jahit besar merek Singer. Hitam, tua, persis kayak Singer koleksi saya, cuma beda ukuran. Belum lagi di Birmingham Museum & Art Gallery dan Museum lainnya.   

Seterika arang di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi
Seterika arang di rumah penduduk Black Country Living Museum Inggris. Dokumen Pribadi
Sekali sekali saya berpikir, untuk apa barang-barang ini ditimbun. Kelak setelah saya mati, menjadi beban anak-anak untuk menyingkirkannya. Selain  menambah kerjaan juga. Sesekali perlu dilap atau dicuci. Kalau tidak, pasti debunya tebal. Atau disarangi tikus.

Lantas saya bongkar, dengan maksud akan dibuang. Sampai di luar, eh ...,  disortir lagi. Ujung-ujungnya,  tersisa minimal 80%.

Tempayan tua, terletak di bawah tangga depan. Zaman dahulu, tong ini digunakan untuk menampung air pencuci kaki sebelum masuk rumah, di Black Country Living Museum Inggris.. Dokumen Pribadi
Tempayan tua, terletak di bawah tangga depan. Zaman dahulu, tong ini digunakan untuk menampung air pencuci kaki sebelum masuk rumah, di Black Country Living Museum Inggris.. Dokumen Pribadi
Susahnya, saya termasuk emak-emak yang risih melihat rumah berantakan. Walaupun tidak rapi-rapi amat. Solusinya, mengajukan usulan pada suami minta dibuatkan gudang.  Yang lama masuk depot,  beberapa tahun kemudian objek berikutnya numpuk lagi. Bikin gudang lagi. Sehingga tanah belakang tiada yang tersisa. Ruangan rumah pun jadi  berliku-liku tidak beraturan.

Artikel ini saya tulis sebagai curhat. Dengan harapan ada rekan Kompasianers yang berkompeten menanggapi. Dan kepadanya saya ingin bertanya, apakah saya seorang hoader? Jika jawabnya iya, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun