Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Sebagian Duda Kerinci Tak Mau Menikah Seumur Hidup?

24 Oktober 2018   23:42 Diperbarui: 25 Oktober 2018   12:02 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: nulis.ba be. news

Tiada seorang pun menghendaki perceraian dalam perkawinan. Tak ada pula yang mau hidup menduda atau menjanda. Tatkala takdir telah menjadi nyata, kekuatan mana yang mampu menepis. 

Ikatan perkawinan tak selamanya putus tersebab pertengkaran. Tetapi dipisahkan oleh maut. Dalam hal ini biasanya yang paling kecewa adalah kaum hawa. Masa pemulihannya pun relatif lama. Kalau kurang-kurang iman, seperti api di dalam sekam. Perlahan tapi pasti membuatnya merana sepanjang masa.

Beda dengan kaum adam. Sedihnya sebulan dua bulan. Menangisnya pun nangaih jaheang (bahasa Kerinci). Artinya menangis jarang = Menangis sambil menutup muka dengan jemari merenggang, "Siapa ya. Yang pantas jadi pengganti?" (guyonan).

Selepas berkabung, mereka mulai berfikir, ke mana perahu kehidupan akan berlabuh lagi. Tak heran, tanah kuburan isterinya belum ditumbuhi rumput dia sudah mendapat bini baru. Maaf, bukan bermaksud mengecilkan arti kasih sayang suami terhadap isteri. Karena fitrah laki-laki itu cepat move on.

Menikah bukanlah suatu dosa. Bahkan agama sangat menganjurkan. Asalkan sesuai dengan ketentuan. Karena manusia diciptakanNya berpasang-pasangn. Agar tercipta rasa kasih sayang. Namun, cepat-cepat mencari pengganti setelah ditinggal mati pasangan itu masalah lain. Masing-masing individu mempunyai perspektif yang berbeda. Kecuali tidak punya anak. 

Tradisi di suatu daerah, kapan isteri telah meninggal kisahnya seumpama petani kebakaran kebun. Tanaman hangus, pondoknya terpanggang. Artinya, bapaknya pergi anak pun hilang. Suami segera banting stir, keluar rumah lalu menikah lagi.

Anak-anaknya yang masih kecil ditinggalkan begitu saja kepada mertua atau keluarga isteri. Mau makan atau tidak, mau sekolah ya, terserah. Puluhan tahun kemudian, anak tidak kenal bapak, bapak tak tahu anak.

Tuhan Maha Adil. Tidak sedikit bocah-bocah yang ditelantarkan ini setelah dewasa hidupanya berjaya. Sementara keturunan yang lahir dari rahim isteri muda nasibnya morat-marit. Otomatis hari tua si bapak kurang beruntung. Apa yang terjadi? Seperti lirik lagu Armada. Pulang malu, tak pulang rindu. Mendingan jika anak-anaknya tidak pendendam. Jika sebaliknya, Akan dikemanakan muka ayahanda tercinta?

Lain nekad pria beda pula mabuknya wanita. Jelita (bukan nama sebenarnya) wanita 40 tahun adalah isteri yang setia. Setahun lebih suaminya terbaring sakit, dia mendampinginya dengan penuh kasih sayang. Setiap hari update foto di facebook disertai status yang intinya mohon doa dari facebookers. Mohon doa buat kekasihku tercinta semoga diberikan kesembuhan oleh Yang Maha Kuasa.

Dukungan dan doa pun mengalir dari ratusan netizen.

Tanpa kompromi, ajal pun menjemput. Pria pujaan hatinya tadi meninggal dunia.

Berita menggaung di jagat maya (baca: facebook). Dibumbui ratapan bahwa lelaki satu-satunya yang dia cintai dunia akhirat itu adalah imam yang baik. Bertanggung jawab, dan puja puji lainnya. Tak terhitung berapa jumlah status yang dia tulis. Isinya, senada. Menyatakan duka yang mendalam atas kepergian sang pujaan hati.

Belum genap sepuluh bulan, eh ..., update foto beda fashion. Pemilik hidung mancung itu telah menggandeng lelaki lain.

Nangaih jaheang atau menangis sambil menutup mata dengan jemari merenggang. Sumber ilustrasi: lifestyle.kompas.com
Nangaih jaheang atau menangis sambil menutup mata dengan jemari merenggang. Sumber ilustrasi: lifestyle.kompas.com
Empat puluh tahun di Bumi Sakti Alam Kerinci, saya belum menemui ibu dan bapak begini.

W, tetangga saya, ditinggal mati isterinya semasa dia punya anak tiga. Peristiwa pilu itu terjadi saat si bungsu berusia dua minggu. Sejak itu, duda muda itu membesarkan anak-anaknya sendiri, dan tak mau menikah lagi. Alasannya. "Malu ditengok orang. Menikah itu mencari anak. Saya sudah punya. Cukuplah yang tiga ini saya selamatkan sampai mereka jadi orang." Angkat topi untuk bapak ini, teguh memegang prinsip.

W terbilang sukses dalam mendidik anak. Kini, ragilnya sudah 35 tahun, berprofesi sebagai petani. Dua lainnya sarjana dan bekerja di instansi pemerintah.

Kesetiaan yang ditanamkan W terhadap belahan jiwanya dahulu, kini berbuah manis. Di usianya yang mendekati kepala tujuh saat ini, kakek tujuh cucu itu enjoy menikmati kesendiriannya. Bukan anak-anaknya melarang dia menikah lagi. Malah ditawari. Dianya yang tidak mau.

Kebanyakan para bapak-bapak yang ditinggal mati isterinya di desa saya dan sekitarnya, atau Kerinci umumnya memilih jalan serupa. (meski tidak semua). Mereka sangat mahir mengasuh dan mendidik anak layaknya seorang ibu. Ada juga yang berani coba-coba beristeri muda. Sebagiannya kembali juga ke asal. Berkumpul bersama anak-anaknya di keluarga lama sampai menua.

Begitu juga ibu-ibu. Tak terhitung jumahnya, perempuan di desa saya menjanda berpisah hidup maupun bercerai mati punya anak satu atau lebih. Mereka memutuskan untuk menjanda seumur hidup. Demi membesarkan buah hatinya.

Enaknya, tiada pula komentar miring tentang status janda yang disandangnya. Terutama terhadap janda yang bercerai mati. Mungkin karena kondisi begini telah berlaku umum.

Berkaca dari pengalaman, ketika bapak atau ibunya menikah lagi, sementara putra putrinya masih kecil, yang paling menderita adalah anak-anak. Tidak terurus, numpang sana numpang sini, pendidikan kucar-kacir.

Di sisi lain, dalam seribu jarang satu, orangtua sambung yang siap menerima kehadiran anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Kecuali wanita/pria pengganti di kalangan keluarga sendiri, yang naik atau turun ranjang. Kasusnya beda lagi.

Menurut pengamatan saya, pernikahan di Kerinci jauh lebih tertib dibandingkan daerah/kota yang pernah saya diami. Termasuk kampung halaman saya sendiri. Di sini perceraian merupakan peristiwa langka. Jika ada asap pertengkaran, orangtua dan keluarga segera hadir untuk memadamkannya. Mereka berusaha maksimum agar anak menantunya kembali berdamai. Mungkin ini dampak positif dari menganut tradisi perjodohan keluarga.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun