Ternyata, adakalanya anjing lebih setia daripada manusia. Saya mengangkat tema ini bukan bermaksud mengecilkan martabat manusia, selaku makhluk ciptaanNya  yang  paling sempurna. Melainkan untuk mengajak kita semua memaknai arti kesetiaan itu sendiri sebagai alat ukur ketajaman naluri dan  akal. Apa yang saya paparkan ini hanya pengalaman pribadi, bukan berpijak pada teori ilmiah.
Akhir tahun 2016 lalu, suami saya menemukan seekor anak anjing di tengah kebunnya, sedang menjilat getah karet yang baru keluar dari goresan. Kondisinya memprihatinkan. Kurus kering, lemas, dan nyaris  tak mampu berjalan. Anjing itu dia pungut, dibawanya ke tempat yang bersih, beralas kain, terus disuapi susu encer. Hari itu juga hewan itu diberinya nama Brand.
Untuk diketahui bersama, anjing yang saya maksud adalah anjing lokal yang biasa dipelihara secara tardisional.
Diduga bayi anjing tersebut dibuang pemiliknya karena tak ada yang mau mengadopsi  tersebab berjenis kelamin betina. Sebagian masyarakat memang enggan memelihara anjing betina, karena tidak bisa diajak berburu.  Tahunya hamil melulu. Sekali melahir, anaknya sampai 6 ekor. Menambah beban keluarga.
Alasan ini dapat dipahami. Bayangkan jika anjing betina ikutan berburu, betapa bapak-bapak anjing mabuk seribu keliling untuk menggoda si emak anjing. Kapan berburunya, coba!
Singkat cerita, Brand tumbuh menjadi hewan setia, dan menyenangkan. Telah beberapa kali ia melahirkan. Sayangnya, hanya satu yang selamat. Lagi-lagi yang berjenis kelamin betina. Dua-duanya diberi nama Brand (yunior dan senior).  Sisanya, hilang lenyap dicuri orang. Maklum, Brand tinggal di rumah kosong. Suami saya ke kebun hanya sekali tiga hari. Namanya kakek  pensiunan.  Berkebun  sekadar penghilang kantuk dan mencari keringat.
Setiap tuannya ke kebun, dari jarak yang relatif jauh Duo Brand langsung menyongsong sambil meraung genit, terus mengekor di belakang. Â Setelah motornya berhenti, Brands meluapkan kegembiraannya dengan bergulingan di tanah, merendupkan tubuh seakan minta dibelai. Meskipun bahasanya tidak dimengerti. Kelak ketika hendak pulang, keduanya mengantar sampai ke ujung perbatasan kebun. Lalu memandang tuannya sampai hilang dari penglihatannya.
Jika ada orang lain yang singgah, Duo Brand pasti menyalak garang. Ini membuktikan anjing mempunyai indera pencium lebih baik daripada manusia. Sehingga dia dapat membedakan mana aroma tubuh tuannya dan mana yang bukan.
Ketika tuannya berkeliling di tengah kebun, dengan setia Duo Brand menemani. Â Kalau ia tertinggal jauh di belakang, atau memang dari awalnya tidak ikutan, ia sangat lihai mendeteksi di mana posisi tuannya. Padahal, kondisi tanahnya berbukit-bukit ditumbuhi aneka macam tanaman.
Kelebihan lain yang dimiliki anjing, apabila ada musuh seperti  ular atau babi hutan yang tidak terlihat oleh manusia,  dia memberitahukan dengan tak henti-hentinya menyalak menghadap pada suatu fokus. Â
Anehnya, Duo Brand tidak suka dengan bunyi  motor  yang kencang. Jika ada pengguna jalan raya yang kebut-kebutan dengan deru mesin memekakkan telinga, dia serang sampai  ke jarak puluhan meter dari halaman rumah. Tidak hanya itu, sesekali Brand senior juga galak pada anak cowok usia SMP. Meskipun kecepatan motornya tidak terlalu tinggi. Mungkin bocah-bocah seusia itu yang sering mencuri anaknya.
Beberapa tahun lalu, kami juga memelihara anjing  yang  setia.  Namanya Let. Kemana saya pergi Let selalu menemani. Jalan-jalan pagi, belanja ke warung, dan ke sekolah pun dia mengantar sampai jarak puluhan meter. Sebab, saya tidak membiasakannya ikut sampai di sekolah. Let sangat tangkas diajak berburu kijang di hutan. Hebatnya, saat berburu, dia tidak perlu didampingi tuannya. Cukup diajak tetangga dan bergabung sama anjing milik si pemburu. Setelah pulang, kami dikasih jatah daging  hasil buruannya.
Seiring perjalanan waktu, dia berhasil menamatkan kuliahnya di Akademi Keperawatan dan sudah bekerja di RS M Jamil, lalu memboyong orangtuanya ke Padang. Â Tahun-tahun pertama beberapa kali dia nelepon.Â
Tak lama kemudian terdengar kabar dia sudah menikah dan pindah tugas ikut suaminya sebagai prajurit TNI di Lampung.
Baru-baru ini, saudara laki-laki saya divonis mengidap penyakit hernia. Kata dokter, harus dioperasi. Saya telepon dia, dengan maksud selain kangen mendengar suaranya, ingin minta saran pendapat. Sebaiknya penyakit begini berobatnya di mana. Di Padang atau di Sungai Penuh saja.
"Maaf, salah sambung. Ini di Lampung. Saya tidak kenal Ibu Nur. Simpang Empat itu dimana?" Logat dan nada bicaranya belum berubah.
"Ya udah." Saya akhiri komunikasi. Waduh. Saya terhenyak. Padahal, dahulu dia sering ngaku hafal di luar kepala nomor handphone saya. Wajar, selama dia kuliah pakai nomor ini untuk berhubungan dengan orangtuanya. Dan tak terhitung kontribusi lain yang dipersembahkan oleh nomor bersebelas angka ini padanya, yang  sangat tak elok kalau saya ungkit-ungkit.
Mula-mula, saya sedih. Ada marah juga. Tapi saya berusaha ikhlas menerima. Caranya, setiap teringat jawaban dia, saya beritighfar dan memaksa diri supaya berpikir positif. Setahun pun saya sedih dan marah, tidak akan mengubah keadaan. Mustahil saya mampu memaksa isi kepala orang lain untuk mengikuti kemauan saya.
Nah, fakta apa lagi yang harus dibantah, "bahwa anjing lebih setia daripada manusia".
***
 Simpang Empat Danau Kerinci, 07092018
Nenek 4R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H