Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Budaya "Ngerumpi" Menjadi Kegiatan Produktif

3 Agustus 2018   20:57 Diperbarui: 4 Agustus 2018   09:53 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Facebook.com (postingan Chotimah Zaenuddin)

Selama hidup, saya beberapa kali gonta ganti tempat tinggal. Di desa, ada juga di kota. Setiap daerah  pasti ada ibu-ibu muda bertetangga dan bersahabat karib. Terutama yang tinggal di kompleks, suka ngerumpi sambil mencari kutu. Sesekali masak rame-rame dan makan bersama bawa anak.

Saking  mabuknya ngumpul bersama, memotong sayur pun dibawa ke tempat teman sembari ngobrol utara selatan. Parahnya, ketika lagi asyik ngobrol, anaknya ngajak pulang minta makan dia  menjawab, "Makan di sini aja. Minta nasi sama Bu De ya!"

Lucunya, perteman mereka juga dibumbui pertengkaran gara-gara terpeleset lidah. Sampai-sampai saling caci maki. Eh...Beberapa minggu kemudian baikan lagi. Anggota grup ini terdiri dari ibu-ibu muda yang suaminya berpenghasilan pas-pasan.  

Jangankan berpikir untuk menambah penghasilan keluarga, mereka malah mem-bully kaumnya yang bekerja. Katanya, menafkahi isteri itu urusan suami.

Sumber ilustrasi: Facebook.com (postingan Chotimah Zaenuddin)
Sumber ilustrasi: Facebook.com (postingan Chotimah Zaenuddin)
Sepuluh tahun lalu, seorang karyawati swasta pernah curhat kepada saya karena tuntutan pekerjaan. Dia sering pulang agak malam. Sehingga sebagian ibu-ibu kompleks khususnya anggota geng ngerumpi tersebut, terang-terangan menyatakan apatisme terhadap dirinya. "Acap kali ketika saya pulang kerja, mereka bernyanyi-nyanyi di bawah pohon mangga milik tetangga. Syairnya mereka ganti dengan kata sindiran berkonotatif ejekan yang ditujukan kepada saya," keluhnya.

Rupanya karyawati tersebut cuek saja. Malah berusaha merangkul mereka untuk diperdayakan. Katanya membantu kaumnya mengurangi  budaya gosip berjamaah. 

Jika ada proyek/acara di kantor, urusan konsumsinya dia serahkan kepada personil geng tadi yang ahli bidang masak-memasak. Satu darinya berhasil keluar dari zona nyaman. Beberapa tahun kemudian sudah punya rumah sendiri, meski kreditan. Sisanya, masih begitu-begitu saja.

Kini, anak-anak mereka telah besar butuh biaya untuk kuliah. Personel yang tersisa tersebut keos. Perekonomiannya tidak kunjung membaik. Mereka hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya batas lulus SMP dan SMA. Rumah masih ngontrak. Hobi ngerumpi masih berlanjut, malahan ada tambahan anggota baru.

Tradisi ngerumpi tidak hanya dipraktikkan oleh kaum wanita, pria juga melakukannya. Bedanya, rumpian ibuk-ibuk itu tingkat kenyinyiran dan materi bahasannya lebih tinggi. Mulai urusan dapur sampai ke sumur. Kadangkala tanpa sadar adegan di kasur pun jadi perbincangan hangat. Sementara rumpian bapak-bapak, sekadarnya saja.

Tujuannya pun tidak jelas. Yang pasti dan umum adalah menilai kelebihan dan kekurangan orang lain.

Di akui atau tidak, ngerumpi ada nilai positif dan negatifnya juga. Positifnya antara lain, mengeratkan pergaulan antar sahabat dan tetangga, cepat menerima informasi dan lain sebagainya. Negatifnya, waktu tidak produktif dan sering menimbulkan fitnah. Terlebih jika dilakukan secara berlebihan sehingga telah membudaya dan mendarah daging.

Ibu-ibu yang cerdas, tidak akan membiarkan dirinya terperangkap dalam dunia pengerumpian yang berlebihan. Kini hidup serba praktis. Memasak, mencuci  dan pekerjaan rumah tangga lainnya dapat digantikan dengan teknologi canggih.  Sehingga banyak waktu untuk memanfaatkan potensi diri, yang berdampak positif  pada perbaikan ekonomi keluarga.

Bekerja tidak selalu di luar rumah.  Sambil mengasuh anak pun ibu rumah tangga bisa menghasilkan uang. Pengalaman saya, di antara profesi tak pernah sepi pelanggan adalah menjahit. Meskipun pakaian jadi membanjiri toko online dan offline, baju dijahit tetap menjadi favorit. Lebih menguntungkan jika dibarengi dengan semangat berdagang. Menjahit sekalian menyiapkan atau menjual bahan.

Tak pandai menjahit? Tiada ilmu yang tidak bisa dipelaji. Empat bulan belajar saya jamin pandai. Yang penting ada kemauan dan rajin berlatih. Gila saja bisa dipelajari dan dilatih. Tak percaya? Boleh dicoba. He he. 

Saya salut dengan seorang gadis putri tetangga saya di desa. Bisa beraktivitas via online. Memasarkan produk hasil karya sendiri sampai menjadi makelar barang-barang toko penyuplai. Kuliahnya lancar, bisnisnya sukses.

Emak-emak yang tinggal di kota lebih berpeluang menjadi pedagang online.  Punya teman atau kenalan pemilik toko busana grosir? Minta dia kerja sama. Foto baju-bajunya, update di pacebook. 

Punya keahlian  bidang tulis-menulis? Menerima jasa editan naskah merupakan peluang rezeki yang lumayan menjanjikan. Dan banyak kegiatan lain yang dapat dilakukan tanpa meninggalkan rumah. Seperti buka warung, usaha kuliner kecil-kecilan, dan lain sebagainya.

Terakhir saya mengajak kita semuanya merenung kata-kata bijak, (bukan kata saya). Masa depanmu tergantung pada masa kinimu. Jika dikelola dengan baik, baik pula hari esokmu. Dan apabila seseorang telah meninggal, di akhirat pun dia tidak akan ditanya bagaimana cara mati, tetapi yang diminta pertanggungjawaban adalah apa yang telah mereka lakukan semasa hidupnya. Singkat kata. Kesuksesan yang kita nikmati hari ini adalah buah dari kerja keras masa lalu.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 03082018

Nenek 4 R

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun