Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Enaknya Nelayan Danau Kerinci, Sambil Tiduran Dapat Ikan

31 Juli 2018   14:59 Diperbarui: 31 Juli 2018   16:59 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan barau (kiri), macekak (kanan atas), mujair (kanan bawah). Dokumen pribadi

Bapak Farel. Dokumen pribadi
Bapak Farel. Dokumen pribadi
Lebih jauh pria yang mengaku disapa Bapak Farel itu menceritakan suka dukanya selama melaut. "Nasib nelayan tidak menentu. Saat ikan lagi susah, sehari semalam  belum tentu dapat sekilo. Bahkan sering kosong. Normalnya seperti sekarang paling tinggi dua puluh kilo. Tetapi  kalau lagi musim, bisa mencapai  lima puluh kilo lebih."

Ikan barau (kiri), macekak (kanan atas), mujair (kanan bawah). Dokumen pribadi
Ikan barau (kiri), macekak (kanan atas), mujair (kanan bawah). Dokumen pribadi
Saya geleng-geleng kepala. Membayangkan tingginya harga ikan danau saat ini. Ikan mujair dan barau, empat puluh dan tujuh puluh ribu perkilo. Saya berseloroh, "Enak, ya. Sambil tiduran uang datang. Anggaplah rata-rata kali tiga puluh ribu harga jual ke pengecer. Per harinya sejuta lebih."

"Jika ikan musim banjir, harganya turun, Bu. Mujair bisa terhempas  ke lima belas ribu, barau ditawar dua puluh lima ribu pun belum tentu orang mau beli." 

Ikan barau. Dokumen pribadi.
Ikan barau. Dokumen pribadi.
"Jika angin lagi kencang, ombak tinggi. Kami tak bisa melaut sampai beberapa minggu," sela pria di hadapan Bapak Parel. Seperti  sejawatnya yang lain, lelaki minta disapa Bapak Kaesya ini begitu menikamati jalan hidupnya sebagai nelayan. Saat saya minta izin memotret Bapak Farel, dengan riang dia mengenakan topi koboy. Terus duduk santai di pintu pondoknya sambil main Hendphone. "Tolong difoto saya, Bu," pintanya.

Dengan senang hati saya membidik wajahnya menggunakan kamera HP.

Bapak Kaesya. Dokumen pribadi
Bapak Kaesya. Dokumen pribadi
Dengan menjamurnya psap,  bukan berarti alat tangkap tradisional tersingkir.  Silakan berdiri di tepi Danau Kerinci. Tidak jauh dari pantai, di dalamnya terlihat tiang-tiang kayu dan bambu terpancang tidak beraturan, tempat nelayan mengikat jaring ikan.  Begitu juga alat tangkap lukah. Hanya wujudnya lebih modern. Dahulu lukah terbuat dari rautan bambu. Kini bergeser ke jaringan berkerangka besi. Bentuknya seperti kubus dengan panjang rusuk kurang lebih satu meter. Nelayan kelas ini juga punya gubuk tempat menginap. Tetapi dibangun di daratan pinggir danau.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Hal ini dapat dimaklumi, untuk memiliki sebuah psap sekalian sudungnya perlu dana minimal sepuluh juta. Belum termasuk harga sampan sebagai sarana untuk mendatangi lokasi.

Tiada terasa suara azan sayup terdengar, menandakan masuk waktu zuhur. Saya dan suami mohon pamit. Terakhir saya memberitahukan mereka, bahwa  hasil wawancara ini akan dijadikan bahan menulis artikel untuk kompasiana.

Tiba-tiba salah seorang wanita tadi menjawab, "Ibuk, tolong promosikan warung nasi saya. Namanya Rumah Makan Pidung."  

 Saya kaget. Ternyata ibu-ibu kampung juga butuh media untuk berpromosi. Saya bertanya balik. "Insyaallah. Alamatnya di mana?"

"Itu, di Simpang Pidung,"  balasnya menunjuk ke alamat yang dia maksud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun