Pertama agak malu-malu kucing alias gengsi. Setelah berada di area lapak, ternyata konsumennya bukan sembarangan orang. Banyak saya temui bapak-bapak berpakaian perlente.Â
Mereka membeli setelan celana dan jas, sepatu, serta kemeja. Cowok-cowok ganteng berwajah mahasiswa sasarannya kaos dan celana jeans, cewek-cewek cantik memburu barang sesuai keperluannya. Begitu juga ibu-ibu rumah tangga. Akhirnya saya ikutan kalap. Waktu berlalu secolek telunjuk. Tanpa sadar, masuk pukul sepuluh pagi keluar jam empat sore.
Yang paling seru, berebutan memilih BJ obralan. Mengobrak-abrik tumpukan pakaian. Zaman itu harga per potongnya rata-tara seribu rupiah. Sekarang antara lima ribu dan tiga sepuluh ribu. Sangat terjangkau oleh kelas pemilik duit yang amat sedikit tadi.
Enteng dia menjawab, selain mahal, enakan belanja di sini. Bisa nawar se enak perut. Setelah dibeli antar ke laundry, minta direndam semalaman. Dan yang bahannya tahan panas di setrika luar dalam.Â
Dia memborong sampai lima lembar. Alasannya biar di foto pakaiannya gonta-ganti. Ntar sebelum pulang dibuang aja di tong sampah hotel. Lebih baik membawa oleh-oleh ketimbang diberatkan jaket BJ.Â
Sehari yang lalu, saya sengaja berleha-leha ke Pasar Lopak. Sekadar melihat sekalian mencari inspirasi. Kondisinya sedikit berbeda dengan tujuh tahun lalu (terakhir saya shopping di sana). Pengunjungnya agak sepi. Mungkin tersebab berbenturan dengan waktu shalat Jumat. Atau dampak situasi setelah lebaran. Tarifnya pun agak mahal. Namun, jika dibandingkan dengan harga baru, BJ tetap lebih murah.
Harga tersebut masih bisa ditawar. Tergantung kepiawaian bernego.
Tetapi, untuk memperoleh brand ternama yang masih bagus itu nasip-nasipan. Kecuali jika ketemu pedagangnya sedang atau baru selesai buka bal.Â