Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lika Liku Kehidupan Mengawali Empat Puluh Empat Tahun Pernikahan

9 Juli 2018   22:39 Diperbarui: 10 Juli 2018   05:13 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika panen, harga jual cabenya lumayan mahal. Jika dihitung-hitung tetap saja rugi. Tidak seimbang dengan tenaga dan waktu. Entah berapa setel pakaiannya menjadi korban. Selain dipakai bekerja, juga membuat orang-orangan dipasang di tengah ladang. Katanya menakut-nakuti simpase.  Kami coba menanam kacang tanah gagal. Pasalnya,  belum berpengalaman. Kata tetangga pemilik kebun sebelah, jarak tanamnya terlalu rapat.

Dua puluh Mei 1975 anak pertama kami lahir. Kesulitan hidup semakin mencekik. Untuk biaya bidan saja sebagiannya kami harus ngutang.

Tuhan telah menyusun skenariao kehidupan kami. Beliau menguji kami dalam bentuk lain. Persis usia satu bulan, putri cantik kesayangan kami tersebut meninggal diserang tetanus pusat.

Empat bulan kemudian, oleh ibu  mertua kami diarahkan untuk membuka lahan. Urusannya dimulai dari  membabat belukar. Saya juga ikut bekerja.  Rencananya mau menanam kopi.  Kuatnya hanya  seminggu. Hitung punya hitung, sekian tahun baru dapat hasil. Akhirnya suami menyerah kalah.

Bagaimanapun kondisi rumah tangga saya, tak pernah sampai ke telinga emak dan bapak. Saya juga berpantang mengeluh. Apalagi minta bantuan beras atau uang. Malahan ketika beliau berkunjung, saya berusaha memberikan oleh-oleh alakadarnya.  Di hadapan mereka kami tetap enjoy. Jahitan laris.  Meskipun sebenarnya  sekali-sekali diwarnai cekcok. Maklum, masa beradaptasi.

Tak sanggup mengikuti irama kerja orang kampung, akhirnya suami minta izin pergi merantau ke Dumai. Dia berjanji, setelah mendapat pekerjaan saya diminta menyusul.

Tanda-tanda kemujuran mulai berpihak. Hari kedua kehadirannya di sana dia langsung diterima di PT Sari Repatri Karya. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perbengkelan kapal (dok kapal). Kemudahan ini dia peroleh bukan tanpa alasan. Selain cocok dengan latar belakang pendidikannya, yakni  STM Perkapalan, sebelumnya dia pernah magang pada perusahaan yang sama di Tanjung Priok Jakarta. Di Dumai itu cabangnya.

Saat suami berangkat, dia meninggalkan sejenjang sawah yang padinya  mulai menguning. Saya sedih tiada terperi. Tinggal di rantau orang tanpa sanak keluarga dalam kondisi tak punya apa-apa. Kecuali sebuah mesin jahit tua merek Singer pemberian orangtua saya. 

Ujung-ujungnya separo dari padi tersebut habis dimakan sapi. Dengan menggunakan tenaga upahan,  sisanya saya sabit terus berasnya  dijual. Uang hasil penjualannya saya beli lagi beras untuk dijual pada pedagang pengecer. Judulnya berdagang beras.

Baru dua trip berjualan, saya dapat kiriman dari suami. Selembar Wesel Pos bertuliskan angka lima belas ribu rupiah. Di bagian salah satu pinggirnya ada pesan. Manfaatkan uang ini sebaik mungkin. Bulan depan dikirim lagi. Tak percaya tapi nyata. Orang semiskin saya punya uang segede itu.  Zaman itu, gaji guru/PNS golongan 2/a baru diangkat cuma sembilan ribu rupiah.

Ketika keluar dari kantor Pos saya sempat senewen. Senyum-senyum sendiri tanpa ada yang menemani. Habis, saking senangnya mulut ini tak bisa bertaut. Maunya tersenyum terus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun