Apabila berkunjung ke Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, tidak afdhol kalau tak mampir di Jembatan Layang Kerinduan. Kira-kira tujuh menit naik mobil/motor dari Bandara Depati Parbo menuju Kota Sungai Penuh.
Jembatan ini menyatukan dua zona yang dipisahkan oleh rawa. Kecamatan Tanah Kampung dan Kota Sungai Penuh. Sebelumnya tanah berpaya tersebut merupakan lahan sawah milik rakyat. Di tengahnya terbentang jalan raya yang hanya dapat dilewati pada musim panas. Ketika hujan airnya tergenang sampai sepinggang orang dewasa. Dari Tanah Kampung ke Sungai Penuh dan sebaliknya, pengguna jalan sekalian sepeda terpaksa naik perahu.
Kondisi ini berlaku sampai awal delapan puluhan. Setelah itu, pengguna jalan memilih lintasan alternatif yang jarak tempuhnya relatif lebih panjang melewati Desa Kumun. Hal ini sesuai zamannya, karena mobil angkutan desa mulai menjamur dan sebagian masyarakat telah memiliki kendaraan bermotor. Â
Secara tak langsung "Keriduan nan Elok" tersebut telah memoles wajah kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci umumnya menjadi  lebih cantik. Karena posisi kota yang dijuluki "Bumi Sahalun Suhak Salatuh Bdei"* ini di tengah Kabupaten Kerinci, setelah resmi berdiri sendiri pada tanggal 8 Oktober 2009. Sampai saat ini, sebagian besar aktifitas pemerintahan Kerinci pun masih dilaksanakan di sana. Jadi, Kerinci  dan Kota Sungai Penuh seperti dua saudara adik kakak yang lahir dari satu rahim.
Pertanyaannya, ada apa dengan jembatan ini, sehingga begitu populer di kalangan publik yang belum dan yang sudah pernah melewati atau mengunjunginya? Baik yang berasal dari dalam, maupun luar daerah.
Tempat rekreasi selalu identik dengan jajanan. Titik-titik tertentu pada bahu jembatan dimanfaatkan oleh pedagang jajanan gerobak dorong untuk meraih rezeki. Tarifnya sama dengan makanan yang dijual di luar area.