Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Unik di Balik Kesuksesan TKI Asal Desa Tanjung Tanah

2 Juni 2018   22:12 Diperbarui: 3 Juni 2018   00:42 3708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Idul Fitri tinggal menghitung hari. Satu persatu perantau mulai mudik. Beberapa rumah bagus yang selama ini terkunci, kini tampak bercahaya karena halamannya telah rapi, pintu dan jendelanya terbuka lebar. Pemandangan begini hampir terlihat di tiap desa dalam Kecamatan Danau Kerinci. Khususnya Desa Tanjung Tanah, kawasan persawahan pinggir jalan raya Sungai Penuh-Jambi.

Momen begini hanya berlaku sekali setahun. Sebelum dan sesudah lebaran. Selepas itu, lingkungan tersebut sepi lagi. Pagar-pagar dan pintu kembali digembok. Pemukiman yang terbilang mewah ini sebagian besar milik TKI yang bekerja di negeri jiran Malaysia.

Kalau dihitung-hitung, untuk apa membangun rumah bagus di kampung. Sekadar untuk bermalam dua tiga minggu. Setelah itu, dibiarkan terpapar seperti barang tak terpakai.

Alasan mereka simpel. "Upah mpok." Artinya membayar upah jerih payah diri. Meskipun cuma sekali setahun. Di negeri orang kami bekerja membanting tulang, pergi pagi pulang petang. Hanya gigi yang tidak berkeringat. Tinggal di kontrakan, di  flat yang udaranya sumpek, dan rumah setinggan ( gubuk) laiknya kandang hewan. Satu kamar 3x3 meter penghuninya 8-10 orang. Cerita SS, perempuan tengah baya warga TanjungTanah. Beliau ini kenalan saya, yang saat ini masih bekerja di Malaysia, pulang sekali setahun.

Warga Tanjung Tanah pergi ke Malaysia secara besar-besaran mulai awal tahun tujuh puluhan. Boleh dikatakan gelombang pertama. Umumnya zaman itu rombongan masuk tanpa dokumen. Melalui jasa toke atau tekong, dari berbagai pelabuhan nelayan Riau mereka diselundupkan naik kapal feri, menuju negeri seberang.

Prosesnya pun tidak mudah. Menunggu situasi aman dari pengawasan petugas. Berangkat malam, sampai di Malaysia pun gelap gulita. Untuk menghilangkan perasaan takut, selama di kapal tak henti-hentinya saya berzikir. Maklum seumur hidup baru sekali melihat laut, kenang SS.

Rumah milik TKI Desa Tanjung Tanah yang ditinggal pergi. Tampak pekarangannya nyaris tertutup oleh rerumputan. (Dokumen pribadi)
Rumah milik TKI Desa Tanjung Tanah yang ditinggal pergi. Tampak pekarangannya nyaris tertutup oleh rerumputan. (Dokumen pribadi)
Karena saat itu aturan keimigrasian Malaysia belum seketat sekarang, administrasi bisa diselesaikan belakangan. Setelah yang bersangkutan sampai di sana. Orang-orang yang tadinya kosong, memperoleh kesempatan untuk melengkapi dokumen. Beberapa tahun kemudian, mereka berhasil mendapat kartu izin tinggal, sampai menjadi penduduk tetap.

Untuk pengurusannya butuh pengorbanan tenaga dan uang. Mendingan punya toke (juragan) yang baik hati. Mereka bersedia mengeluarkan uang pribadinya terlebih dahulu.

Meskipun dengan syarat-syarat tertentu. Ketika masih kosong, setiap ada razia terhadap pendatang haram (gelap),saya dan teman-teman selalu dikejar ketakutan. Sering tengah malam kami lari terbirit-birit masuk hutan, ngumpet di bawah polongan, dalam drum kosong dan di tempat lain yang kira-kira aman dari kejaran Polis Diraja Malysia.

Kini, anak cucu keturunan TKI asal Tanjung Tanah tersebut telah menyebar ke seluruh pelosok Malaysia. Di antaranya banyak yang menikah dengan warga asli Melayu.

Dari dahulu, masyarakat Tanjung Tanah mempunyai keterkaitan erat dengan Malaysia. Pada zaman kolonial, banyak warganya yang merantau ke negeri serumpun tersebut. Di sana mereka beranak pinak dan diterima oleh penduduk dan penguasa setempat. Sebagai bukti sejarah, di Kuala Lumpur ada satu pemukiman namanya Kampung Kerinci. Semua penghuninya anak keturunan dan perantau dari Kerinci didominasi oleh keluarga asal Tanjung Tanah.

Tidak hanya itu, tanah warisan mereka juga banyak di Malaysia. Untuk tenaga kerja atau pelancong asal Tanjung Tanah yang meninggal, tersedia lahan pemakaman gratis. Beda dengan mayat TKI Kerinci dari desa lain. Jika sanak keluarganya tak mampu membeli tanah kuburan, si mayit terpaksa diboyong pulang.

Rumah kosong milik TKI Desa Simpang Empat Tanjung Tanah (dokumen pribadi)
Rumah kosong milik TKI Desa Simpang Empat Tanjung Tanah (dokumen pribadi)
Diakui atau tidak, semenjak masyarakatnya banyak merantau ke Malaysia, wajah Tanjung Tanah berubah total. Desa yang dahulu perekonomian rakyatnya tergantung pada ikan di danau dan bercocok tanam di sawah, kini menjelma menjadi desa yang gagah perkasa. Di sana-sini berdiri bangunan bagus.

Hal ini berkat kerja keras otot-otot kekar yang tak kenal lelah. Orang Kerinci tengok perantau Malaysia itu enak. Rumah bagus duit banyak. Kalian tak tengok kami kerja di negeri orang. Jadi pembantu, clining servis, sampai ke ngasuh orang tua pikun dan memandikan kucing. Di rantau tak boleh gengsi-gengsian. Kerja tak boleh pilih-pilih lah. Kata seorang nenek tetangga saya dengan logat Malaysia-nya. Beliau mantan TKI yang telah purna bakti. Tetapi masih sering ke Malaysia, menjenguk anak cucunya, yang telah menikah dengan orang Melayu asli.

Konon ceritanya, pertama orang Tanjung Tanah merantau ke Malaysia dahulu, disambut sinis oleh segelintir orang. Orang Indon miskin-miskin. Ke sini cari kerje jadi pembantu, ejeknya.

Puluhan tahun kemudian, si lancang itu pulang ke Indonesia. Sampai di Tanjung Tanah, dia kaget berat setelah menyaksikan  rumah-rumah milik TKI yang sempat dia ejek dulu kayak gedong. Akhirnya dia malu sendiri.

Pertanyaannya, apakah semua perantau dari Tanah Melayu tersebut berhasil memperbaiki nasibnya? Tidak juga. Cerita lain sering mengalir dari beberapa TKI Malaysia yang nota bene sahabat lama saya. Di sana nyari duitnya lumayan mudah ketimbang di tanah air. Tapi godaan banyak. Judi, perempuan, malas-malasan, sampai ke boros-borosan. Jika tak  dibarengi dengan kecerdasan memanajemen hidup, "pergi sayak balek tempurung." Artinya, berangkat miskin, pulang tambah miskin.

Pribadi yang begini berpeluang jadi TKI seumur hidup. Di kampung tak punya rumah, di rantau tinggal di kontrakan. Endingnya, ketemu lirik lagu grup band Armada, pulang malu tak pulang rindu karena nasib tidak menentu.

Selamat berpuasa Kompasianers semuanya.

***

Simpang Empat, 02062018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun