Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelisik Kembali Budaya Batale Mencangkul Sawah dalam Masyarakat Desa Seleman Kecamatan Danau Kerinci

27 Mei 2018   22:48 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:53 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencangkul adalah pekerjaan yang berat bagi petani dalam mengolah sawah. Oleh sebab itu, bagian ini lazimnya ditangani oleh kaum Adam.

Tapi jangan disangka golongan Hawa tak mampu melakukannya.  Dalam masyarakat Desa Seleman Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi,  mencangkul bisa dilakukan oleh   laki-laki maupun perempuan. Malahan tugas ini sekaligus menjadi sarana tempat  menghibur diri. Cara praktiknya bersahaja, menarik, memikat, dan lain dari yang lain.

Umumnya, untuk urusan mencangkul petani Seleman bekerja keroyokan. Pelaksananya, bapak-bapak dan emak-emak  bergabung dalam wadah yang mereka sebut "alun". Anggotanya terdiri dari beberapa ben (pekerja).  Setiap ben dibayar  per jam oleh pemilik sawah.  Ada pula sistem berganti hari. Artinya tenaga dibayar tenaga. Jika hari ini si A mencangkul di sawah B selama 6 jam, besok B yang membantu di sawah A dengan jumlah waktu yang sama. (Sekarang pasarannya 1 jam kerja dihargai Rp 10,000. Ransum ditanggung sendiri-sendiri oleh ben). Jam kerja maksimum 6 jam perhari. Masuk pukul 7.00, pulang pukul 13.00.

Ada dua kategori Alun. Alun nek (kecil), jumlah ben 5 orang, dan alun gdeang (besar), anggotanya antara 6-25 orang. Dalam satu alun ditunjuk beberapa artis yang mereka sebut tukang asoh (asuh). Biasanya, satu alun kecil, ada 2 pe-ngasoh, dan alun besar antara 8-10. Tergantung jumlah ben. Tugas pe-ngasoh, menyanyikan lagu daerah Kerinci yang disebut tale. Kelak sebelum pulang,  kepadanya diberikan bonus sabun mandi atau gula kopi. Ini dapat dimaklumi, ber-tale sambil mencangkul membutuhkan energi yang super ekstra.

Praktiknya  tidak rumit. Mula-mula, semua ben membentuk barisan  berderet ke samping dengan jarak yang sama. Posisinya pas  di salah satu ujung area dan menghadap satu arah ke ujung lainnya. Persis kayak barisan karyawan sebelum masuk kantor. Kemudian, diiringi tale, serentak mereka menghunjamkan  cangkul  ke tanah, sesuai dengan tempo dan irama lagu yang dinyanyikan si pe-ngasoh. Demikian seterusnya hingga pekerjaan selesai sampai ke batas akhir objek kerja.

Tale, yang dikumandangkan berisi pantun-pantun, saling berbalasan  antara pe-ngasoh satu dengan lainnya. Pantunnya, pantun nasehat, agama, dan didominasi oleh  pantun muda-mudi.

Untuk diketahui, usia dan status perkawinan para ben  bervariasi. Ada perempuan bersuami, janda, laki-laki duda/beristeri, tak ketinggalan pula bujang dan gadis serta siswa/siswi  SMP dan SMA  yang memanfaatkan hari libur. Dalam pembagian tugas tetap sama rata. Personil tipe agak malasan, ditempatkan berdampingan dengan yang rajin.

Anak sekolahan yang ikut membaur dalam alun, bukan putra-putri orang tak punya  yang terpaksa membantu orangtua untuk mencari uang. Tetapi ada magnet tersendiri yang mendorong mereka untuk menceburkan diri dalam pekerjaan yang berkubang tanah liat dan lumpur tersebut.

Yang paling asyik, sesama pe-ngasoh ada  pasangan kekasih yang sedang  dimabuk asmara. Dalam ber-tale (batale) itulah masing-masing pihak menumpahkan rindu dan cinta dari lubuk hati yang dalam. Sesekali saling sindir, adakalanya merendah dan bersedih-sedihan. 

Hati mereka semakin berbunga, tatkala makan siang bersama di pematang sawah atau di bawah pohon. Bekal untuk si cowok disiapkan oleh gadis pujaannya, dengan pelayanan serba spesial. Minum pakai gelas cantik yang populer dengan istilah gelas bertutup, piring berbunga. Pasangan satu dengan lainnya berlomba-lomba  pamer servis dan pamer kemesraan.

Sumber ilustrasi: desasundul.blogspot.com
Sumber ilustrasi: desasundul.blogspot.com
Kisah di atas adalah gambaran penghias kenangan. Budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun itu kini telah hancur dilindas zaman. Berganti dengan deru mesin bajak setiap mulai turun ke sawah.

Walaupun alun masih ada, paling di daerah yang tanah/lumpurnya dalam melampaui pinggang. Tak bisa dijangkau oleh mesin. Pelaksanaannya jauh berbeda dengan turunan aslinya. Tale tak pernah lagi berkumandang. Ben bekerja semaunya.  Menghadap ke timur atau ke barat tiada aturan yang melarang. Mungkin generasi milenial/remaja Seleman saat ini  tak kenal lagi dengan tale  yang khusus dinyanyikan ketika mencangkul  di sawah. Demikian juga halnya dengan anak muda/diswa SMP, SMA, jangankan masuk alun,  menyentuh cangkul pun mereka alergi. 

Banyak nilai etika yang dapat dipetik dalam bekerja dengan sistem alun. Di antaranya, memelihara dan memupuk rasa  keadilan, kekompakan, kesetiakawanan, kerja sama, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, saling mengisi antara si kuat dengan si lemah dan pelajaran tersirat lainnya yang sarat dengan norma positif.

Sangat miris, kearifan lokal begini tidak mendapat tempat lagi di hati masyarakatnya sendiri. Padahal, bangsa lain  mengaguminya. "Suatu ketika seorang bule sedang tour keliling Danau Kerinci.  Mungkin karena mendengar kami batale, dia menghentikan sepedanya di pinggir jalan. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk bule itu memperhatikan kami bekerja.  Lama sekali,"  aku seorang perempuan tengah baya yang saya wawancarai terkait topik ini. Beliau mantan anggota alun yang telah berkiprah  20 tahun lebih. Dan, berhenti bersamaan dengan tumbangnya budaya  alun batale di sawah dari kebun tempatnya tumbuh.

Tidak hanya bule, tahun delapan puluhan, mahasiswa Universitas ternama dari luar Sumatera pernah melakukan  penelitian tentang kerja berpola alun yang diselingi tale nan indah merdu ini. 

Demikian sekilas cerita tentang tradisi masyarakat Seleman bekerja di sawah pada  masa dahulu.   Artikel ini saya tulis dengan harapan, pihak terkait dalam hal ini pemerintah Provinsi Jambi, khususnya Kabupaten Kerinci, berkenan menghidupkan kembali budaya-budaya lama yang telah musnah ditelan peradaban. Seperti batale sambil mencangkul sawah di Desa Seleman pada zamannya.

***

Simpang Empat Danau Kerinci, 27052018.

Penulis,

Hj. Nursini Rais

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun